SULUK LINGLUNG SUNAN KALI JAGA
Banyak
pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup
pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang
lain itu sebagai “kaca benggala”.
Birahi
ananireku,
aranira
Allah jati.
Tanana
kalih tetiga,
sapa
wruha yen wus dadi,
ingsun
weruh pesti nora,
ngarani
namanireki
Timbullah
hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu
menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada
dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya
berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat
jamal ta puniku,
ingkang
kinen angarani,
pepakane
ana ika,
akon
ngarani puniki,
iya
Allah angandika,
mring
Muhammad kang kekasih.
Adapun
sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha
menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan
adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi
Kekasih-Nya.
Yen
tanana sira iku,
ingsun
tanana ngarani,
mung
sira ngarani ing wang,
dene
tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira
aran mami.
Kalau
tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada
kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu
dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya
Dzatku.
Tauhid
hidayat sireku,
tunggal
lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal
sira lawan Allah,
uga
donya uga akhir,
ya
rumangsana pangeran,
ya
ALLOH ana nireki.
Tauhid
hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik
di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu.
Ruh
idhofi neng sireku,
makrifat
ya den arani,
uripe
ingaranan Syahdat,
urip
tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk
pamore Hyang Widhi.
Ruh
idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat
(kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk
berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat
tananamu nyamur,
ja
melu yen sira wedi,
lan
ja melu-melu Allah,
iku
aran sakaratil,
ruh
idhofi mati tannana,
urip
mati mati urip.
Penderitaan
yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan
takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu
dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak
akan mati; Hidup mati, mati hidup.
Liring
mati sajroning ngahurip,
iya
urip sajtoning pejah,
urip
bae selawase,
kang
mati nepsu iku,
badan
dhohir ingkang nglakoni,
katampan
badan kang nyata,
pamore
sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh
Malaya (Sunan Kalijogo) den padhang sira nampani,
Wahyu
prapta nugraha.
Mati
di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi.
Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad
yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya
mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai
ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari
wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia
tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan
tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut “mati sajroning ngahurip” dan
bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini
TASAWUF SUNAN BONANG
Tasawuf
dan Pengetahuan Diri
Secara
keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan
diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta
dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat
dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya
dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia
(Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan’penyucian
diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa
atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb);
ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah
lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk
mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu
merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri
jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah
ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya
kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran
rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya
tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian
jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam
ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan
tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang
dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab
al-‘Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan
membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih
kalbu dengan keinginan- keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran
dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu.
Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i,
seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka
pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan
sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam
Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai
Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat
(tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau
perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan
paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani.
Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan
keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada
peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau
hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut
‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang
berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini
sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku
adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku
mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu
Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat
tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya
persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara
keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang
terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada,
mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara
berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal:
- Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini;
- Hakikat diam dan bicara;
- Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani;
- Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia;
- Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pàóðawa dari epik Mahabharata;
- Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam;
- Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan
Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab
dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai
‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang
Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan
utama (seorang Muslim)
Ialah
mengetahui hakikat salat
Hakikat
memuja dan memuji
Salat
yang sebenarnya
Tidak
hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi
juga ketika tafakur
Dan
salat tahajud dalam keheningan
Buahnya
ialah menyerahkan diri senantiasa
Dan
termasuk akhlaq mulia
13
Apakah
salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan
ini: Jangan lakukan salat
Andai
tiada tahu siapa dipuja
Bilamana
kaulakukan juga
Kau
seperti memanah burung
Tanpa
melepas anak panah dari busurnya
Jika
kaulakukan sia-sia
Karena
yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu
apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar:
Walau siang malam berzikir
Jika
tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu
tidak sempurna
Zikir
sejati tahu bagaimana
Datang
dan perginya nafas
Di
situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat
melalui yang empat
15
Yang
empat ialah tanah atau bumi
Lalu
api, udara dan air
Ketika
Allah mencipta Adam
Ke
dalamnya dilengkapi
Anasir
ruhani yang empat:
Kahar,
jalal, jamal dan kamal
Di
dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah
kaitan ruh dan badan
Dapat
dikenal bagaimana
Sifat-sifat
ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir
tanah melahirkan
Kedewasaan
dan keremajaan
Apa
dan di mana kedewasaan
Dan
keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan
dalam keremajaan?
Api
melahirkan kekuatan
Juga
kelemahan
Namun
di mana letak
Kekuatan
dalam kelemahan?
Ketahuilah
ini
17
Sifat
udara meliputi ada dan tiada
Di
dalam tiada, di mana letak ada?
Di
dalam ada, di mana tempat tiada?
Air
dua sifatnya: mati dan hidup
Di
mana letak mati dalam hidup?
Dan
letak hidup dalam mati?
Kemana
hidup pergi
Ketika
mati datang?
Jika
kau tidak mengetahuinya
Kau
akan sesat jalan
18
Pedoman
hidup sejati
Ialah
mengenal hakikat diri
Tidak
boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh
karena itu ketahuilah
Tempat
datangnya yang menyembah
Dan
Yang Disembah
Pribadi
besar mencari hakikat diri
Dengan
tujuan ingin mengetahui
Makna
sejati hidup
Dan
arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah
hidup sebenar-benar hidup
Tubuh
kita sangkar tertutup
Ketahuilah
burung yang ada di dalamnya
Jika
kau tidak mengenalnya
Akan
malang jadinya kau
Dan
seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia
semata
Jika
kau tak mengenalnya.
Karena
itu sucikan dirimu
Tinggalah
dalam kesunyian
Hindari
kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan
itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang
mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang
kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan,
jangan di tempat jauh dicari
Ia
ada dalam dirimu sendiri
Seluruh
isi jagat ada di sana
Agar
dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan
sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan
pikiran, heningkan cipta
Jangan
bercerai siang malam
Yang
kaulihat di sekelilingmu
Pahami,
adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia
ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan
oleh keinginanmu
Kini,
ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah
yang dikandung pengetahuan sempurna
Di
dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan
pengetahuan ini luas
Dari
lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang
yang mengenal hakikat
Dapat
memuja dengan benar
Selain
yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat
sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena
itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali
dirimu yang sejati
Ingkari
benda
Agar
nafsumu tidur terlena
Dia
yang mengenal diri
Nafsunya
akan terkendali
Dan
terlindung dari jalan
Sesat
dan kebingungan
Kenal
diri, tahu kelemahan diri
Selalu
awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila
kau mengenal dirimu
Kau
akan mengenal Tuhanmu
Orang
yang mengenal Tuhan
Bicara
tidak sembarangan
Ada
yang menempuh jalan panjang
Dan
penuh kesukaran
Sebelum
akhirnya menemukan dirinya
Dia
tak pernah membiarkan dirinya
Sesat
di jalan kesalahan
Jalan
yang ditempuhnya benar
24
Wujud
Tuhan itu nyata
Mahasuci,
lihat dalam keheningan
Ia
yang mengaku tahu jalan
Sering
tindakannya menyimpang
Syariat
agama tidak dijalankan
Kesalehan
dicampakkan ke samping
Padahal
orang yang mengenal Tuhan
Dapat
mengendalikan hawa nafsu
Siang
malam penglihatannya terang
Tidak
disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya
dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat
tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini
merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah
bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak
mengetahui benar- benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak
bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika
melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya
bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai
‘tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan
Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya
makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam
dalam tafakur, Wujil
Adalah
jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja
tanpa selang waktu
Yang
mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan
oleh makrifat
Tubuhnya
akan bersih dari noda
Pelajari
kaedah pencerahan kalbu ini
Dari
orang arif yang tahu
Agar
kau mencapai hakikat
Yang
merupakan sumber hayat
36
Wujil,
jangan memuja
Jika
tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga
sia-sia orang memuja
Tanpa
kehadiran Yang Dipuja
Walau
Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah
adamu
Sebagai
isyarat ada-Nya
Inilah
makna diam dalam tafakur
Asal
mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah
itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan
yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau
menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih
luas dari itu.
38
Renungi
pula, Wujil!
Hakikat
sejati kemauan
Hakikatnya
tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir
dan menyebut suatu perkara
Bukan
kemauan murni
Kemauan
itu sukar dipahami
Seperti
halnya memuja Tuhan
Ia
tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun
tidak membuatmu membenci orang
Yang
dihukum dan dizalimi
Serta
orang yang berselisih paham
39
Orang
berilmu
Beribadah
tanpa kenal waktu
Seluruh
gerak hidupnya
Ialah
beribadah
Diamnya,
bicaranya
Dan
tindak tanduknya
Malahan
getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh
anggota badannya
Digerakkan
untuk beribadah
Inilah
kemauan murni
40
Kemauan
itu, Wujil!
Lebih
penting dari pikiran
Untuk
diungkapkan dalam kata
Dan
suara sangatlah sukar
Kemauan
bertindak
Merupakan
ungkapan pikiran
Niat
melakukan perbuatan
Adalah
ungkapan perbuatan
Melakukan
shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya
buah dari kemauan
Di
sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) ,
yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan
sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan
sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula.
Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang
penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah
gerangan suatu madah
Mengarangkan
syair terlalu indah
Membetulkan
jalan tempat berpindah
Di
sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai
muda kenali dirimu
Ialah
perahu tamsil tubuhmu
Tiada
berapa lama hidupmu
Ke
akhirat jua kekal diammu
Hai
muda arif budiman
Hasilkan
kemudi dengan pedoman
Alat
perahumu jua kerjakan
Itulah
jalan membetuli insan
…
La
ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan
yang qadim tempat berdamai
Wujud
Allah terlalu bitai
Siang
malam jangan bercerai
(Doorenbos
1933:33)
Tamsil
Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta
pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta
Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn ‘Arabi. Sufi
abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya
bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat
sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang
tersembunyi) dalam ciptaan- Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di
alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku
Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada
pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada
mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh
berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian
Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga
yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: “Bagaimana
bayang- bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh
datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa “Dalam Ada
terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban
sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat
(pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan
selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan
sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada
bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat
renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau
Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi
Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan
tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad
ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh
Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan
sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud- Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi
Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa
rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai
musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan
Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan
Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila
orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan
tempat sucinya atau rumah Tuhan.
Langkah
sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan
perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan
(musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan
luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan
uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak
ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka
melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke
tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan
dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali.
Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan
uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad
lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan
duniawi.
Di
dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di
tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang
melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke
barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat.
Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah
utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak
selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di
sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga
orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila
ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka‘bah dapat menampung mereka
semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia
pun akan tertampung juga”.
Wujil
menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap
merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Berbeda
dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus
melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan
kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti
biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk
membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa
diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di
samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang
menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir
dan batin, demikian juga di dalam Islam.
Malahan
di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya
di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan
pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan
tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang
egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan
rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan
memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid
dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir
itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya
terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda
dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah
dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental
tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam
tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi
sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya
berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia
itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Syair dan Sastra Al-Qusyairy
Al-Qusyairy,
seperti yang disebutkan oleh as Subky, adalah ahli bahasa dan sastra, seorang
pengarang dan penyair. Pada masa kecilnya al-Qusyairy telah mempelajari bahasa
Arab dan sastra, sehingga dikenal pula sebagai penyair yang hebat
dan
cemerlang. Ali al-Bakhrazy menyebutkan dalam Dimyatul Qashr, mengutip sebagian
syairnya, dan menyebut nyebut kebesarannya.
Sebenarnya,
dunia tasawuf lebih dominan dibanding kepenyairannya. Anda tidak melihat dalam
syair syairnya kecuali mengenai syair tharikat dengan untaian bahasa yang
lembut nan indah. Kami sebutkan di antara syairnya yang kami kutip dari
Thabaqat asy Syafi’iyah adalah:
Wahai
Dzat Yang membuat syukurku menjadi pendek dari kekokohan-Nya,
Setiap
bibir kelu bila menjunjung keluhuran-Nya Sedang kemurahan-Nya, Tunggal tiada
serupa Melampaui waktu, yang berlalu maupun yang akan tiba
Tiada
abad yang meninggalkan-Nya
Tiada
paksa yang menyentuh Nya
Tiada
singkap yang menampakkan Nya
Tiada
tirai yang menyembunyikan-Nya
Tiada
jumlah yang mengumpulkan-Nya
Tiada
kontra yang menghalangi Nya
Tiada
batas yang memotong Nya
Tiada
tetes yang melimpahi Nya
Tiada
jagad yang membatasi Nya
Tiada
mata yang memandang Nya
Dan
tiada dalam angan yang dilihat
untuk
menyamai Nya
Keagungan
Nya Azali
Tiada
sirna Nya
Kerajaan
Nya abadi
Tak
satu pun dibutuhkan Nya.
Beliau
juga bersyair:
Jauhkan
padaku hitam legam wahai sahabatku
Bacakan
surat surat doa padaku
Benar
telah kami jawab bagi perintang akal penuh kepatuhan
Dan
kami tinggalkan ucapan Salma dan Maya
Dan
kami membuka lebar bagi pematuh syariat
Kami
anjurkan pematuh hawa nafsu agar melipat dirinya.
Syairnya
lagi:
Jangan
tinggalkan bakti pada orang tua, ketahuilah
Pada
keluarga kecil
ada
yang terkecil
Raihlah
orang yang di sebelah kanannya
bakal
kau pegang tangan kanan
Engkau
lihat yang kiri di sebelahnya
Engkau
raih tangan kirinya.
Syairnya
yang lain:
Bila
musim memberimu dengan kesedihan
Katakanlah,
dengan penghinaan yang menakutinya
Sejenak
akan tampak maunya
Dan
selesai setiap urusannya
Allah
meminumkan pada waktu ketika aku menyepi dari wajahmu
Sedang
sirnanya cinta di taman sukaria tertawa
Kami
menghuni masa
Sedang
mata terasa sejuk
Suatu
hari jadilah ciumanmu
pelupuknya.
Pada
bait lain:
Bila
engkau sesaat bersama kami tidaklah engkau bersama kami
Engkau
saksikan ketika pamit berpisah
Engkau
yakin di antara tetesan air mata penuh ungkapan kata kata
Engkau
pun tahu di antara kata kata pun penuh air mata.
Syairnya
pula:
Bila
keadaan keadaan jiwa menolongmu
Intailah
akan sirnanya
Itu
pun tak lebih dari missal pengalaman yang diberikan
Bila
ucapan ucapan busuk menuju padamu
Maka,
busungkan luasnya dada yang tercambuk
Dan,
bersabarlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar