Nabi Nuh adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan Idris
dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam.
Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.
Dakwah Nabi Nuh Kepada Kaumnya
Nabi Nuh menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa
“fatrah” masa kekosongan di antara dua rasul di mana biasanya manusia secara
berangsur-angsur melupakan ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan
mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal kebajikan, melakukan kemungkaran
dan kemaksiatan di bawah pimpinan Iblis.
Demikianlah maka kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses
tersebut, sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka
sedang menyembah berhala ialah patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan
mereka sendiri disembahnya sebagai Tuhan-Tuhan yang dapat membawa kebaikan dan
manfaat serta menolak segala kesengsaraan dan kemalangan. Berhala-berhala yang dipertuhankan dan
menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan ghaib ke atas
manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera
kebodohan mereka. Kadang-kadang mereka
namakan berhala mereka “Wadd” dan “Suwa” kadangkala “Yaguts” dan bila sudah
bosan digantinya dengan nama “Yatuq” dan “Nasr”.
Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya yang sudah jauh tersesat
oleh iblis itu, mengajak mereka meninggalkan syirik dan penyembahan berhala dan
kembali kepada tauhid menyembah Allah Tuhan sekalian alam melakukan
ajaran-ajaran agama yang diwahyukan kepadanya serta meninggalkan kemungkaran
dan kemaksiatan yang diajarkan oleh Syaitan dan Iblis.
Nabi Nuh menarik perhatian kaumnya agar melihat alam
semesta yang diciptakan oleh Allah berupa langit dengan matahari, bulan dan
bintang-bintang yang menghiasinya, bumi dengan kekayaan yang ada di atas dan di
bawahnya, berupa tumbuh-tumbuhan dan air yang mengalir yang memberi kenikmatan
hidup kepada manusia, pergantian malam menjadi siang dan sebaliknya yang
kesemua itu menjadi bukti dan tanda nyata akan adanya keesaan Tuhan yang harus
disembah dan bukan berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka
sendiri. Di samping itu Nabi Nuh juga
memberitakan kepada mereka bahwa akan ada ganjaran yang akan diterima oleh
manusia atas segala amalannya di dunia yaitu syurga bagi amalan kebajikan dan
neraka bagi segala pelanggaran terhadap perintah agama yang berupa kemungkaran
dan kemaksiatan.
Nabi Nuh yang dikurniakan Allah dengan sifat-sifat yang
patut dimiliki oleh seorang nabi, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana
dan sabar dalam tindak-tanduknya melaksanakan tugas risalahnya kepada kaumnya
dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan dengan cara yang lemah lembut mengetuk
hati nurani mereka dan kadang kala dengan kata-kata yang tajam dan nada yang
kasar bila menghadapi pembesar-pembesar kaumnya yang keras kepala yang enggan menerima
hujjah dan dalil-dalil yang dikemukakan kepada mereka yang tidak dapat mereka
membantahnya atau mematahkannya.
Akan tetapi walaupun Nabi Nuh telah berusaha sekuat
tenaganya berdakwah kepada kaumnya dengan segala kebijaksanaan, kecakapan dan
kesabaran dan dalam setiap kesempatan, siang maupun malam dengan cara
berbisik-bisik atau cara terang dan terbuka ternyata hanya sedikit sekali dari
kaumnya yang dapat menerima dakwahnya dan mengikuti ajakannya, yang menurut
sementara riwayat tidak melebihi bilangan seratus orang Mereka pun terdiri dari orang-orang yang
miskin berkedudukan sosial lemah.
Sedangkan orang yang kaya-raya, berkedudukan tinggi dan terpandang dalam
masyarakat, yang merupakan pembesar-pembesar dan penguasa-penguasa tetap
membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh mengingkari dakwahnya dan sesekali
tidak merelakan melepas agamanya dan kepercayaan mereka terhadap
berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha dengan mengadakan persekongkolan
hendak melumpuhkan dan menggagalkan usaha dakwah Nabi nuh.
Berkata mereka kepada Nabi Nuh: “Bukankah engkau hanya
seorang daripada kami dan tidak berbeda daripada kami sebagai manusia
biasa. Jikalau betul Allah akan
mengutuskan seorang rasul yang membawa perintah-Nya, niscaya Ia akan
mengutuskan seorang malaikat yang patut kami dengarkan kata-katanya dan kami
ikuti ajakannya dan bukan manusia biasa seperti engkau hanya dapat diikuti
orang-orang rendah kedudukan sosialnya seperti para buruh petani orang-orang
yang tidak berpenghasilan yang bagi kami mereka seperti sampah masyarakat.
Pengikut-pengikutmu itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai daya fikiran
dan ketajaman otak, mereka mengikutimu secara buta tuli tanpa memikirkan dan
menimbangkan masak-masak benar atau tidaknya dakwah dan ajakanmu itu. Coba agama yang engkau bawa dan ajaran-ajaran
yang engkau sadurkan kepada kami itu betul-betul benar, niscaya kamilah dulu
mengikutimu dan bukannya orang-orang yang mengemis pengikut-pengikutmu
itu. Kami sebagai pemuka-pemuka
masyarakat yang pandai berfikir, memiliki kecerdasan otak dan pandangan yang
luas dan yang dipandang masyarakat sebagai pemimpin-pemimpinnya, tidaklah mudah
kami menerima ajakanmu dan dakwahmu. Engkau tidak mempunyai kelebihan di atas
kami tentang soal-soal kemasyarakatan dan pergaulan hidup. Kami jauh lebih
pandai dan lebih mengetahui daripadamu tentang hal itu semuanya. Anggapan kami
terhadapmu, tidak lain dan tidak bukan, bahwa engkau adalah pendusta belaka”
Nuh berkata, menjawab ejekan dan olok-olokan kaumnya:
“Adakah engkau mengira bahwa aku dapat memaksa kamu mengikuti ajaranku atau
mengira bahwa aku mempunyai kekuasaan untuk menjadikan kamu orang-orang yang
beriman jika kamu tetap menolak ajakanku dan tetap membuta-tuli terhadap
bukti-bukti kebenaran dakwahku dan tetap mempertahankan pendirianmu yang
tersesat yang diilhamkan oleh kesombongan dan kecongkakan karena kedudukan dan
harta-benda yang kamu miliki. Aku hanya seorang manusia yang mendapat amanat
dan diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kamu. Jika kamu tetap berkeras kepala dan tidak mau
kembali ke jalan yang benar dan menerima agama Allah yang diutuskan-Nya kepada
ku maka terserahlah kepada Allah untuk menentukan hukuman-Nya dan ganjaran-Nya
atas diri kamu. Aku hanya pesuruh dan
rasul-Nya yang diperintahkan untuk menyampaikan amanat-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Dialah yang berkuasa
memberi hidayah kepadamu dan mengampuni dosamu atau menurunkan azab dan
siksaan-Nya di atas kamu sekalian jika Ia kehendaki. Dialah pula yang berkuasa
menurunkan siksa dan azab-nya di dunia atau menangguhkannya sampai hari
kemudian. Dialah Tuhan pencipta alam
semesta ini, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Kaum Nuh mengemukakan syarat dengan berkata: “Wahai Nuh!
Jika engkau menghendaki kami mengikutimu dan memberi sokongan dan semangat
kepada kamu dan kepada agama yang engkau bawa, maka jauhkanlah para pengikutmu
yang terdiri dari orang-orang petani, buruh dan hamba-hamba sahaya itu. Usirlah mereka dari pergaulanmu karena kami
tidak dapat bergaul dengan mereka duduk berdampingan dengan mereka mengikuti
cara hidup mereka dan bergabung dengan mereka dalam suatu agama dan
kepercayaan. Dan bagaimana kami dapat
menerima satu agama yang menyamaratakan para bangsawan dengan orang awam,
penguasa dan pembesar dengan buruh-buruhnya dan orang kaya yang berkedudukan
dengan orang yang miskin dan papa”
Nabi Nuh menolak pensyaratan kaumnya dan berkata: “Risalah
dan agama yang aku bawa adalah untuk semua orang tiada pengecualian, yang
pandai mahupun yang bodoh, yang kaya mahupun miskin, majikan ataupun buruh,
diantara penguasa dan rakyat biasa semuanya mempunyai kedudukan dan tempat yang
sama terhadap agama dan hukum Allah.
Andai kata aku memenuhi pensyaratan kamu dan meluluskan keinginanmu
menyingkirkan para pengikutku yang setia itu, maka siapakah yang dapat ku
harapkan akan meneruskan dakwahku kepada orang ramai dan bagaimana aku sampai
hati menjauhkan daripadaku orang-orang yang telah beriman dan menerima dakwahku
dengan penuh keyakinan dan keikhlasan di kala kamu menolaknya serta
mengingkarinya, orang-orang yang telah membantuku dalam tugasku di kala kamu
menghalangi usahaku dan merintangi dakwahku.
Dan bagaimanakah aku dapat mempertanggungjawabkan tindakan pengusiranku
kepada mereka terhadap Allah bila mereka mengadu bahwa aku telah membalas
kesetiaan dan ketaatan mereka dengan sebaliknya semata-mata untuk memenuhi
permintaanmu dan tunduk kepada pensyaratanmu yang tidak wajar dan tidak dapat
diterima oleh akal dan fikiran yang sehat.
Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang bodoh dan tidak berfikiran
sehat.
Pada akhirnya, karena merasa tidak berdaya lagi
mengingkari kebenaran kata-kata Nabi Nuh dan merasa kehabisan alasan dan hujjah
untuk melanjutkan dialog dengan beliau, maka berkatalah mereka: “Wahai Nabi
Nuh! Kita telah banyak bermujadalah dan berdebat dan cukup berdialog serta
mendengar dakwahmu yang sudah menjemukan itu. Kami tetap tidak akan mengikutimu dan tidak akan sesekali melepaskan
kepercayaan dan adat-istiadat kami sehingga tidak ada gunanya lagi engkau
mengulang-ulangi dakwah dan ajakanmu dan bertegang lidah dengan kami. Datangkanlah apa yang engkau benar-benar
orang yang menepati janji dan kata-katanya. Kami ingin melihat kebenaran kata-katamu dan ancamanmu dalam
kenyataan. Karena kami masih tetap belum
mempercayaimu dan tetap meragukan dakwahmu”
Nabi Nuh Berputus Asa Dari Kaumnya
Nabi Nuh berada di tengah-tengah kaumnya selama sembilan
ratus lima puluh tahun berdakwah menyampaikan risalah Tuhan, mengajak mereka
meninggalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah dan beribadah kepada
Allah Yang Maha Kuasa memimpin mereka keluar dari jalan yang sesat dan gelap ke
jalan yang benar dan terang, mengajar mereka hukum-hukum syariat dan agama yang
diwahyukan oleh Allah kepadanya, mengangkat derajat manusia yang tertindas dan
lemah ke tingkat yang sesuai dengan fitrah dan qodratnya dan berusaha
menghilangkan sifat-sifat sombong dan congkak yang melekat pada para pembesar
kaumnya dan mendidik agar mereka berkasih sayang, tolong-menolong diantara
sesama manusia. Akan tetapi dalam waktu
yang cukup lama itu, Nabi Nuh tidak berhasil menyadarkan dan menarik kaumnya
untuk mengikuti dan menerima dakwahnya beriman, bertauhid dan beribadat kepada
Allah kecuali sekelompok kecil kaumnya yang tidak mencapai seramai seratus
orang, walaupun ia telah melakukan tugasnya dengan segala daya-usahanya dan
sekuat tenaganya dengan penuh kesabaran dan kesulitan menghadapi penghinaan,
ejekan dan cercaan makian kaumnya, karena ia mengharapkan akan datang masanya di
mana kaumnya akan sadar diri dan datang mengakui kebenarannya dan kebenaran
dakwahnya. Harapan Nabi Nuh akan
kesadaran kaumnya ternyata makin hari makin berkurang dan bahwa sinar iman dan
takwa tidak akan menebus ke dalam hati mereka yang telah tertutup rapat oleh
ajaran dan bisikan Iblis. Hal mana Nabi
Nuh berupa berfirman Allah yang bermaksud:
“Sesungguhnya tidak akan seorang daripada kaumnya mengikutimu dan beriman kecuali mereka yang telah mengikutimu dan beriman lebih dahulu, maka janganlah engkau bersedih hati karena apa yang mereka perbuatkan”
Dengan penegasan firman Allah itu, lenyaplah sisa harapan
Nabi Nuh dari kaumnya dan habislah kesabarannya. Ia memohon kepada Allah agar menurunkan
Azab-Nya di atas kaumnya yang berkepala batu seraya berseru:
“Ya Allah! Janganlah Engkau biarkan seorang pun daripada orang-orang kafir itu hidup dan tinggal di atas bumi ini. Mereka akan berusaha menyesatkan hamba-hamba-Mu, jika Engkau biarkan mereka tinggal dan mereka tidak akan melahirkan dan menurunkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan anak-anak yang kafir seperti mereka”
Doa Nabi Nuh dikabulkan oleh Allah dan permohonannya
diluluskan dan tidak perlu lagi menghiraukan dan mempersoalkan kaumnya, karena
mereka itu akan menerima hukuman Allah dengan mati tenggelam.
Nabi Nuh Membuat Kapal
Setelah menerima perintah Allah untuk membuat sebuah
kapal, segeralah Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan mulai mereka
mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk maksud tersebut, kemudian dengan
mengambil tempat di luar dan agak jauh dari kota dan keramaiannya mereka dengan
rajin dan tekun bekerja siang dan malam menyelesaikan pembinaan kapal yang
diperintahkan itu.
Walaupun Nabi Nuh telah menjauhi kota dan masyarakatnya,
agar dapat bekerja dengan tenang tanpa gangguan bagi menyelesaikan pembinaan
kapalnya namun ia tidak luput dari ejekan dan cemoohan kaumnya yang kebetulan
atau sengaja melalui tempat kerja membina kapal itu. Mereka mengejek dan mengolok-olok dengan
mengatakan:
“Wahai Nuh! Sejak bila engkau telah menjadi tukang kayu dan pembuat kapal? Bukankah engkau seorang nabi dan rasul menurut pengakuanmu, kenapa sekarang menjadi seorang tukang kayu dan pembuat kapal. Dan kapal yang engkau buat itu di tempat yang jauh dari air ini adalah maksudmu untuk ditarik oleh kerbau ataukah mengharapkan angin yang akan menarik kapalmu ke laut?”
Dan
lain-lain kata ejekan yang diterima oleh Nabi Nuh dengan sikap dingin dan
tersenyum seraya menjawab:
“Baiklah tunggu saja saatnya nanti, jika kamu sekarang mengejek dan mengolok-olok kami maka akan tibalah masanya kelak bagi kami untuk mengejek kamu dan akan kamu ketahui kelak untuk apa kapal yang kami siapkan ini. Tunggulah saatnya azab dan hukuman Allah menimpa atas diri kamu”
Setelah selesai pekerjaan pembuatan kapal yang merupakan
alat pengangkutan laut pertama di dunia, Nabi Nuh menerima wahyu dari Allah:
“Siap-siaplah engkau dengan kapalmu, bila tiba perintah-Ku dan terlihat tanda-tanda daripada-Ku maka segeralah angkut bersamamu di dalam kapalmu dan kerabatmu dan bawalah dua pasang dari setiap jenis makhluk yang ada di atas bumi dan berlayarlah dengan izin-Ku”
Kemudian tercurahlah dari langit dan memancur dari bumi
air yang deras dan dahsyat yang dalam sekelip mata telah menjadi banjir besar
melanda seluruh kota dan desa menggenangi daratan yang rendah maupun yang
tinggi sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga tiada tempat berlindung dari
air bah yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang telah terisi penuh dengan
para orang mukmin dan pasangan makhluk yang diselamatkan oleh Nabi Nuh atas
perintah Allah.
Dengan iringan “Bismillah majraha wa mursaha” berlayarlah
kapal Nabi Nuh dengan lajunya menyusuri lautan air, menentang angin yang kadang
kala lemah lembut dan kadang kala ganas dan ribut. Di kanan kiri kapal terlihatlah orang-orang
kafir bergelut melawan gelombang air yang menggunung berusaha menyelamatkan
diri dari cengkeraman maut yang sudah sedia menerkam mereka di dalam lipatan
gelombang-gelombang itu.
Tatkala Nabi Nuh berada di atas geladak kapal
memperhatikan cuaca dan melihat-lihat orang-orang kafir dari kaumnya sedang
bergelimpangan di atas permukaan air, tiba-tiba terlihatlah olehnya tubuh
putera sulungnya yang bernama “Kan’aan” timbul tenggelam dipermainkan oleh
gelombang yang tidak menaruh belas kasihan kepada orang-orang yang sedang
menerima hukuman Allah itu. Pada saat
itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta dan kasih sayang seorang ayah
terhadap putera kandungnya yang berada dalam keadaan cemas menghadapi maut ditelan
gelombang.
Nabi Nuh secara spontan, terdorong oleh suara hati
kecilnya berteriak dengan sekuat suaranya memanggil puteranya: Wahai anakku!
Datanglah kemari dan gabungkan dirimu bersama keluargamu. Bertaubatlah engkau dan berimanlah kepada
Allah agar engkau selamat dan terhindar dari bahaya maut yang engkau menjalani
hukuman Allah.” Kan’aan, putera Nabi Nuh, yang tersesat dan telah terkena racun
rayuan syaitan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak
dengan keras ajakan dan panggilan ayahnya yang menyayanginya dengan kata-kata
yang menentang:
“Biarkanlah aku dan pergilah, jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung di atas geladak kapalmu aku akan dapat menyelamatkan diriku sendiri dengan berlindung di atas bukit yang tidak akan dijangkau oleh air bah ini”
Nuh menjawab:
“Percayalah bahwa tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkan engkau ialah bergabung dengan kami di atas kapal ini. Masa tidak akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan ini kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat dan keampunan-Nya”
Setelah Nabi Nuh mengucapkan kata-katanya tenggelamlah
Kan’aan disambar gelombang yang ganas dan lenyaplah ia dari pandangan mata
ayahnya, tergelincirlah ke bawah lautan air mengikuti kawan-kawannya dan
pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.
Nabi Nuh bersedih hati dan berdukacita atas kematian
puteranya dalam keadaan kafir tidak beriman dan belum mengenal Allah. Beliau berkeluh-kesah dan berseru kepada
Allah:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya puteraku itu adalah darah dagingku dan adalah bahagian dari keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji benar dan Engkaulah Maha Hakim yang Maha Berkuasa.”
Kepadanya Allah berfirman:
“Wahai Nuh! Sesungguhnya dia puteramu itu tidaklah termasuk keluargamu, karena ia telah menyimpang dari ajaranmu, melanggar perintahmu menolak dakwahmu dan mengikuti jejak orang-orang yang kafir daripada kaummu. Coretlah namanya dari daftar keluargamu. Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu mengikuti jalanmu dan beriman kepada-Ku dapat engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan keluargamu yang telah Aku janjikan perlindungannya dan terjamin keselamatan jiwanya. Adapun orang-orang yang mengingkari risalah mu, mendustakan dakwahmu dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntutan Iblis, pastilah mereka akan binasa menjalani hukuman yang telah Aku tentukan walau mereka berada di puncak gunung. Maka janganlah engkau sesekali menanyakan tentang sesuatu yang engkau belum ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam golongan orang-orang yang bodoh”
Nabi Nuh sadar segera setelah menerima teguran dari Allah
bahwa cinta kasih sayangnya kepada anaknya telah menjadikan ia lupa akan janji
dan ancaman Allah terhadap orang-orang kafir termasuk puteranya sendiri. Ia sadar bahwa ia tersesat pada saat ia
memanggil puteranya untuk menyelamatkannya dari bencana banjir yang didorong
oleh perasaan naluri darah yang menghubungkannya dengan puteranya padahal
sepatutnya cinta dan taat kepada Allah harus mendahului cinta kepada keluarga
dan harta-benda. Ia sangat sesalkan
kelalaian dan kealpaannya itu dan menghadap kepada Allah memohon ampun dan
maghfirahnya dengan berseru:
“Ya Tuhanku aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan yang terlaknat, ampunilah kelalaian dan kealpaanku sehingga aku menanyakan sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Ya Tuhanku bila Engkau tidak memberi ampun dan maghfirah serta menurunkan rahmat bagiku, niscaya aku menjadi orang yang rugi”
Setelah air bah itu mencapai puncak keganasannya dan habis
binasalah kaum Nuh yang kafir dan zalim sesuai dengan kehendak dan hukum Allah,
surutlah lautan air diserap bumi kemudian bertambatlah kapal Nuh di atas bukit
“Judie” dengan iringan perintah Allah kepada Nabi Nuh:
“Turunlah wahai Nuh ke darat engkau dan para mukmin yang menyertaimu dengan selamat dilimpahi barakah dan inayah dari sisi-Ku bagimu dan bagi umat yang menyertaimu”
Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Quran
Al-Quran menceritakan kisah Nabi Nuh dalam 43 ayat dari 28
surah di antaranya surah Nuh dari ayat 1 sehingga 28, juga dalam surah “Hud”
ayat 27 sehingga 48 yang mengisahkan dialog Nabi Nuh dengan kaumnya dan
perintah pembuatan kapal serta keadaan banjir yang menimpa di atas mereka.
Pengajaran Dari Kisah Nabi Nuh A.S.
Bahwasanya hubungan antara manusia yang terjalin karena
ikatan persamaan kepercayaan atau penamaan aqidah dan pendirian adalah lebih
erat dan lebih berkesan daripada hubungan yang terjalin karena ikatan darah
atau kelahiran. Kan’aan yang walaupun ia
adalah anak kandung Nabi Nuh, oleh Allah s.w.t.
dikeluarkan dari bilangan keluarga ayahnya karena ia menganut
kepercayaan dan agama berlainan dengan apa yang dianut dan didakwahkan oleh
ayahnya sendiri, bahkan ia berada di pihak yang memusuhi dan menentangnya.
Maka dalam pengertian inilah dapat difahami firman Allah
dalam Al-Quran yang bermaksud:
“Sesungguhnya para mukmin itu adalah bersaudara”Demikian pula hadis Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:“Tidaklah sempurna iman seseorang kecuali jika ia menyintai saudaranya yang beriman sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri”Juga peribahasa yang berbunyi:“Adakalanya engkau mendapatkan seorang saudara yang tidak dilahirkan oleh ibumu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar