ajaran_kejawen_budaya_jawa_yang_ditinggalkan_2012
KEJAWEN
Untuk siapa saja
yang ingin mengetahui kejawen lebih mendalam Sabdolangit Menelisik Rahasia
Filsafat Kejawen http://sabdalangit.wordpress.com/
Pun dalam kejawen, karena bukanlah agama, maka
dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud laku spiritual dalam tataran
batiniahnya, dan laku ritual dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan
simbolisasi dan kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra,
sesaji, laku sesirik (menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau
meditasi.
Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua
itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan
do’a. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama
maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar.
Menurut para pengamat, kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur
kesengajaan untuk mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak tepat dan
melenceng dari makna yang sesungguhnya.
Semoga hal itu bukan termasuk upaya
politisasi sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah
mbalung sungsum di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan
paradigma kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin
surga.
Awal dari penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan
praktik imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun
silam. Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas
ada baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi
terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya.
Setidaknya,
kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh
generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan
nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan
tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek moyang
bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya agung
bernilai tinggi.
Meluruskan Makna Mantra tidaklah sama maknanya dengan do’a.
Bila do’a merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra itu umpama
menarik picu senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup manusia pemberian
Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi
memiliki makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan
kehidupan yang benar, baik dan tepat.
Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti
kaidah memayu hayuning bawana. Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya
aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura
magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang
membangun menjadi jasad manusia.
Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi,
langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk
menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad
tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis
berdasarkan weton dan wuku. Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam
semesta terdapat kaitan erat.
Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi
secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua
kemungkinan yakni pertama, bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu
(sinergi) dalam wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak
(adesif).
Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan
sebuah upaya harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam
kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos. Agar
tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal
(pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia
sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.
Prinsip Keseimbangan,
Keselarasan & Harmonisasi Sesaji atau sajen jika dipandang dari perspektif
agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai biang
kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan
menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini?
Seyogyanya janganlah terjebak oleh
keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange dhewe (cari menangnya sendiri)
dan golek benere dhewe (cari benernya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya
merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk
menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh
ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam
maupun makhluk gaib.
Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia
dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi
diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap
diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk
mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya.
Karena
kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita
sendiri. Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia
menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling
hina. Harmoni & Keselarasan Merupakan Wahyu Tuhan Dalam konteks kebudayaan
Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu
karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib.
Wahyu juga tidak dapat
dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat
melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat,
bersemadi, bertapa, maladihening, dan berbagai jalan lain yang berkonotasi
melakukan laku batin.
Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan
mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk
Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan
sebagainya.
Dalam konteks budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan
yang sekaligus membuktikan bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa
batas, dan Tuhan yang Mahakasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam
menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan kehendaki.
Falsafah Jawa memandang
suatu makna terdalam dari sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki
konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak atau monopoli suku, ras, golongan, atau
bangsa tertentu. Mekanisme kehidupan di alam semesta adalah bersifat dinamis.
Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan yang mengikuti prinsip-prinsip
keharmonisan, keseimbangan, atau keselarasan (sinergi) jagad raya seisinya.
Dinamika dan pola hubungan demikian sudah menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang
Maha Memelihara sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA, baik
yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
Wahyu Purba Anugrah tersebut dalam
terminologi Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus
Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Dewa
Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat
memelihara.
Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung rumus Tuhan, bahwa di
dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua
dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana kehidupan
alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman,
kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan
ditegakkan dengan baik dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa hidup ini
dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat
ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu
keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi
sebagai akibat ke-nekad-an manusia melakukan pelanggaran hukum kebenaran.
Untuk
memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia
menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan
kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya. Wahyu Dyatmika (Jatmiko) Barang siapa
yang berhasil membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara
jagad kecil yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan jagad raya
disebut sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika.
Dyatmika berarti
batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk
memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang
disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan
tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah
tenaga dalam. Hubungan Mantra dengan Prinsip Keselarasan Mantra adalah
Teknologi Kuno.
Perlu kami tegaskan lagi bahwa mantra bukanlah do’a, akan
tetapi merupakan sejenis senjata atau alat berujud kata-kata atau kalimat
sebagai teknologi spiritual tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di
masa silam. Mantra dibuat melalui tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya
laku prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan
cara tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis mantra
(baca; senjata) yakni:
- Khusus menurut fungsinya, hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya menaklukkan musuh di medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat medis sebagai mantra untuk penyembuhan.
- Mantra khusus menurut sifatnya, dibagi dua: pertama, mantra yang hanya dapat bekerja jika digunakan untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis ini paling sering digunakan di lingkungan kraton sebagai salah satu tradisi turun temurun.
Kedua, mantra yang bersifat umum, bebas digunakan untuk acara dan keperluan apa
saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat
bedah operasi, alat memasak, atau disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun
mantra jenis ini setiap penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat
berupa karma atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah
ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah Terdapat pula kesalahan
memaknai mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang
selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam.
Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan seorang dukun santet, itu bukanlah
sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa
kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin, setan atau makhluk gaib
sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya.
Perlu saya luruskan bahwa yang
demikian ini, bukan termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri?
Baiklah, berikut ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses
bagaimana mantra (teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang
banyak dicap menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono &
RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah kami singgung sedikit mengenai
prana, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi vertikal-horisontal,
mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam semesta, jagad kecil dengan jagad
besar. Mantra merupakan salah satu bentuk pendayagunaan prana.
Khusus untuk
mantra umum, agar supaya siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak
menyalahgunakannya untuk hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan
eling dan waspada. Sikap eling dan waspada akan memelihara seseorang dalam
mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan
hidup bersama menggapai ketentraman dan kesejahteraan. Yang paling utama
bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan
harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang
Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian dalam pergumulan laku
spiritual Sastra Jendra sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna dibalik
Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu. Menjadi
satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni Sastra jendra, hayuning
Rat, pangruwating diyu. Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual
dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning
Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur
(Hangawula kawulaning Gusti/Pangruwating diyu), keduanya berpangkal dan
berujung pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning
Rat). Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad
kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME. Bentuk panembahan
dalam pada tingkat tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam
berbagai kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya;
upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan sebagainya.
Atau berbagai upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan
seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan dalam manembah pada tingkat tata
batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan hidup atau prana kehidupan untuk
mewujudkan mantra-agung (mahamantra) yakni sastra jendra yang berfungsi
membangun keseimbangan (balancing) dan keselarasan (harmonic) antara aura
spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad raya seisinya. Tujuan utama dari
balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik maupun
bid’ah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi do’a untuk mohon keselamatan bagi
alam semesta dan seluruh isinya. Sayang sekali, zaman semakin berubah, perilaku
budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi, telah banyak
ditinggalkan orang Jawa sendiri. Alasannya demi mikul duwur mendhem jero
falsafah dan budaya asing. Atau takut oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang
hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak berdasarkan metode ilmiah
maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang tragis! Tradisi yang
masih dapat dijalankan pun akhirnya hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran,
sadranan, apitan telah melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya yakni
menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut hanya sekedar menjadi
tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang (custom), pemerintah
melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis laku dijual, dan
menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh dan lucu saja.
Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya. Itulah, wujud
sejati wong Jawa kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi
seteru Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni
harmonisasi dan keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam
semesta berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri, hujan
salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan, kebakaran,
banjir, tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai
banyak kering, satwa liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi
musim mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh
(pagebluk), serangan hawa panas dan hawa dingin secara ekstrim (el-nino &
la-nina).
Nilai Hakekat Mistik Kejawen “Urip ing ngalam dunya, ora liya mung
pinangka kanggo netepi titahing Gusti”
Pucung (Pupuh III: Serat Wredhatama):
“Ngelmu iku /
Kalakone kanthi laku /
Lekase lawan kas /
Tegese kas nyantosani /
Setya budya pangkese dur angkara”
“Angkara gung /
Neng angga anggung gumulung /
Gegolonganira /
Triloka lekeri kongsi /
Yen den umbar ambabar dadi rubeda.”
“Beda lamun kang wus sengsem /
Reh ngasamun /
Semune ngaksama /
Sasamane bangsa
sisip /
Sarwa sareh saking mardi martatama”
“Taman limut /
Durgameng tyas kang
weh limput /
Karem ing karamat /
Karana karoban ing sih /
Sihing sukma ngrebda
saardi pengira”
“Yeku patut tinulat tulat tinurut /
Sapituduhira /
Aja kaya
jaman mangkin /
Keh pra mudha mundhi diri lapal makna”
“Durung becus kesusu
selak besus /
Amaknani rapal /
Kaya sayid weton mesir /
Pendhak pendhak
angendhak /
Gunaning jalma”
“Kang kadyeku /
Kalebu wong ngaku aku /
akale
alangka /
Elok Jawane denmohi /
Paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah”
“Nora weruh /
rosing rasa kang rinuruh /
lumeketing angga /
anggere padha
marsudi /
kana kene kaanane nora beda”
“Uger lugu /
Den ta mrih pralebdeng
kalbu /
Yen kabul kabuki /
Ing drajat kajating urip /
Kaya kang wus winahya
sekar srinata”
“Basa ngelmu /
Mupakate lan panemune /
Pasahe lan tapa /
Yen
satriya tanah Jawi /
Kuna kuna kang ginilut tripakara”
“Lila lamun /
kelangan
nora gegetun /
Trima yen ketaman /
Sakserik sameng dumadi /
Tri legawa nalangsa
srah ing Bathara”
“Bathara gung /
Inguger graning jajantung /
Jenek Hyang
wisesa /
Sana pasenedan suci /
Nora kaya si mudha mudhar angkara Tuhan Maha
Agung.”
“Nora uwus /
Kareme anguwus uwus /
Uwose tan ana /
Mung janjine muring
muring /
Kaya buta buteng betah anganiaya “
“Sakeh luput /
Ing angga tansah
linimput /
Linimpet ing sabda /
Narka tan ana udani /
Lumuh ala ardane ginawa
gada”
“Durung punjul /
Ing kawruh kaselak jujul /
Kaseselan hawa /
Cupet
kapepetan pamrih /
tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa”
Gejolak
Pengembaraan Sukma Kesadaran dalam falsafah hidup Jawa dimulai dari kesadaran
rasio (akal budi atau cipta) yang ditopang oleh pilar utamanya yakni kesadaran
batin meliputi kesadaran jiwa atau sukma, dan kesadaran rahsa (rasa).
Tidak
hanya berhenti di situ, kesadaran rahsa masih harus dimanifestasikan dalam
perbuatan konkrit untuk menjalani aktivitas hidup sehari-hari (karsa).
Parameter keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai
makhluk ciptaan Tuhan (titahing Gusti), adalah bilamana berhasil melakukan
harmonisasi dan sinergi antara perilaku manusia dengan kearifan alam semesta,
antara jagad alit dengan jagad ageng, antara mikrokosmos dengan makrokosmos.
Oleh sebab itu manusia Jawa (nusantara) selalu berusaha untuk menciptakan
harmonisasi dan sinergisasi antara jagad alit (diri pribadi) atau microcosmos
dengan jagad ageng (alam semesta) atau macrocosmos.
Pergaulan Manusia Dengan
Alam Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap desa memiliki tata cara atau
tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki aturan dan
undang-undang yang berbeda-beda pula. Setiap tata cara, tradisi, budaya,
undang-undang tentu akan dipengaruhi oleh pola interaksi antara masyarakat
dengan alam sekitarnya.
Misalnya masyarakat Arab sejak pra Islam terutama wanita
sudah mengenakan burqa atau kain penutup wajah dan kepala. Bentuk mode
pakaiannya pun seperti jubah panjang menutup seluruh tubuh. Hal itu disebabkan
oleh kondisi alam yang teramat panas di siang hari, dingin di waktu malam hari,
dan sering terjadi badai gurun. Pakaian model demikian tentunya akan melindungi
tubuh dari keganasan alam sekitarnya.
Demikian pula masyarakat Afghan, India,
Pakistan, walaupun memiliki latar belakang agama yang berbeda-beda namun mereka
masih satu rumpun yang memiliki akar kebudayaan yang sama. Lihat saja model
pakaiannya hampir memiliki kesamaan. Semua itu pada intinya, bahwa tradisi dan
budaya merupakan proses interaksi manusia dengan alam. Sehingga terjadi
penyeimbangan atau harmonisasi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Bahkan
karakter alam akan sangat berpengaruh terhadap karakter masyarakatnya. Misalnya
masyarakat Sunda yang ramah, andap asor, terbuka, lunak, namun juga cenderung
kurang gigih, semua itu dipengaruhi oleh keadaan alam yang subur, cukup air,
mudah bercocok tanam, mudah mencari mata pencaharian. Gunung-gunung dan
pemandangan alamnya yang menakjubkan mempengaruhi nilai seni dan budayanya
pula.
Coba perhatikan tiupan seruling Sunda dengan nada-nadanya yang indah
meliuk-liuk, merdu dan syahdu menyayat hati. Seolah mengikuti lekuk-liuk kontur
pegunungan nan indah dan syahdu. Perhatikan pula logat bahasanya yang mesra
mendayu, seolah mengikuti irama alam sekitarnya.
Lain halnya dengan masyarakat
Madura di wilayah bangkalan. Kondisi alam yang kering dan tanah yang sulit
untuk bercocok tanam, menyebabkan gaya hidup yang serba terbatas. Cara bermukim
berkelompok. Dan memiliki karakter yang keras. Seolah mengikuti keadaan alam
yang ganas dan mengharuskan pola hidup yang keras. Jika mental atau karakternya
tidak keras maka akan sulit bertahan hidup di tanah Bangkalan. Mata pencaharian
yang sulit akan membangun sikap hemat namun cenderung melakukan invasi ke
wilayah masyarakat lain yang lebih subur lingkungan alamnya.
Hal itu hampir
senada dengan keadaan masyarakat di negara Arab, yang memiliki karakter alam
yang sedemikian ganas. Ganasnya alam membuat segala sesuatu menjadi serba
sulit. Karena terbiasa menghadapi kehidupan yang sulit itulah akan menimbulkan
karakter masyarakat yang keras, sulit bersikap toleran, dan mudah terjadi
konflik horisontal misalnya perebutan property, ata pencaharian, dan wilayah
kekuasaan.
Maka dapat dipahami bahwa konflik horisontal lebih sering terjadi di
wilayah-wilayah yang memiliki karakter alam yang ganas dan keras. Celakanya,
kristalisasi nilai kebudayaan yang keras yang berasimilasi ke dalam nilai-nilai
agama atau falsafah hidup suatu masyarakat, di kemudian hari akan sangat
berbahaya menjadi doktrin kebenaran apabila hanya dipahami secara
tektual/teksbook.
Itulah salah satu alasan mengapa mempelajari agama harus
disesuaikan dengan konteks zamannya atau dipahami secara kontekstual. Terlebih
lagi apabila nilai-nilai tersebut diekspor ke masyarakat lain yang memiliki
karakter berbeda. Akan beresiko terjadi disharmoni dan anti-sinergisme dengan lingkungan
alamnya.
Masyakarat lokal (origin/pribumi) akan teralienasi oleh nilai imitasi
impor yang pada gilirannya justru menghilangkan kesadaran tertinggi jati diri,
yakni kesadaran rahsa sejati. Ujung dari semua itu, adalah masyarakat yang
terombang ambing kehilangan jati diri, tidak mengenali karakter alam
sekitarnya, serba salah langkah, dan salah kaprah dalam mengambil
kebijaksanaan.
Maka kemurkaan alamlah yang terjadi. Banyak cara dapat ditempuh
untuk mewujudkannya misalnya dengan laku spiritual biasa disebut sebagai laku
prihatin (perih dirasa ing batin). Cara-cara lainnya misalnya dengan berbagai
ritual tradisi dan kebudayaan. Dalam mistik Kejawen atau falsafah hidup Jawa
semua itu dapat dimaknai sebagai laku kebatinan (rohaniah). Tujuan dari semua
itu tidak lain sebagai upaya menggapai kesadaran tinggi yakni kesadaran rahsa
sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar