Kamis, 21 Juni 2012

Ajaran Kejawen Budaya Jawa Yang Ditinggalkan


ajaran_kejawen_budaya_jawa_yang_ditinggalkan_2012
KEJAWEN 
Untuk siapa saja yang ingin mengetahui kejawen lebih mendalam Sabdolangit Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen http://sabdalangit.wordpress.com/ 
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah do’a serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal dan kekuasaanNya tiada terbatas.
Pun dalam kejawen, karena bukanlah agama, maka dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud laku spiritual dalam tataran batiniahnya, dan laku ritual dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan simbolisasi dan kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku sesirik (menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau meditasi. 
Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan do’a. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar. Menurut para pengamat, kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang sesungguhnya. 
Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah mbalung sungsum di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin surga. 
Awal dari penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam. Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya. 
Setidaknya, kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya agung bernilai tinggi. 
Meluruskan Makna Mantra tidaklah sama maknanya dengan do’a. Bila do’a merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra itu umpama menarik picu senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik dan tepat. 
Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah memayu hayuning bawana. Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang membangun menjadi jasad manusia. 
Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi, langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis berdasarkan weton dan wuku. Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam semesta terdapat kaitan erat. 
Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama, bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif). 
Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos. Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta. 
Prinsip Keseimbangan, Keselarasan & Harmonisasi Sesaji atau sajen jika dipandang dari perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini? 
Seyogyanya janganlah terjebak oleh keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange dhewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere dhewe (cari benernya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk gaib. 
Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya. 
Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri. Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina. Harmoni & Keselarasan Merupakan Wahyu Tuhan Dalam konteks kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. 
Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku batin. 
Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. 
Dalam konteks budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan yang sekaligus membuktikan bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa batas, dan Tuhan yang Mahakasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan kehendaki. 
Falsafah Jawa memandang suatu makna terdalam dari sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak atau monopoli suku, ras, golongan, atau bangsa tertentu. Mekanisme kehidupan di alam semesta adalah bersifat dinamis. 
Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan, keseimbangan, atau keselarasan (sinergi) jagad raya seisinya. Dinamika dan pola hubungan demikian sudah menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha Memelihara sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. 
Wahyu Purba Anugrah tersebut dalam terminologi Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Dewa Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat memelihara. 
Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung rumus Tuhan, bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik dan benar. 
Walaupun manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat ke-nekad-an manusia melakukan pelanggaran hukum kebenaran. 
Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya. Wahyu Dyatmika (Jatmiko) Barang siapa yang berhasil membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara jagad kecil yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan jagad raya disebut sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika. 
Dyatmika berarti batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah tenaga dalam. Hubungan Mantra dengan Prinsip Keselarasan Mantra adalah Teknologi Kuno. 
Perlu kami tegaskan lagi bahwa mantra bukanlah do’a, akan tetapi merupakan sejenis senjata atau alat berujud kata-kata atau kalimat sebagai teknologi spiritual tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat melalui tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya laku prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan cara tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis mantra (baca; senjata) yakni: 
  1. Khusus menurut fungsinya, hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya menaklukkan musuh di medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat medis sebagai mantra untuk penyembuhan. 
  2. Mantra khusus menurut sifatnya, dibagi dua: pertama, mantra yang hanya dapat bekerja jika digunakan untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis ini paling sering digunakan di lingkungan kraton sebagai salah satu tradisi turun temurun. 

Kedua, mantra yang bersifat umum, bebas digunakan untuk acara dan keperluan apa saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak, atau disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun mantra jenis ini setiap penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat berupa karma atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah ajal. 
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah Terdapat pula kesalahan memaknai mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam. 
Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan seorang dukun santet, itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin, setan atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya. 
Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini, bukan termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri? 
Baiklah, berikut ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra (teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak dicap menganut faham religi primitif. 

Hamemayu Hayuning Bawono & RAT, serta Pangruwating Diyu 
Di atas telah kami singgung sedikit mengenai prana, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah satu bentuk pendayagunaan prana. 
Khusus untuk mantra umum, agar supaya siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan waspada. Sikap eling dan waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian dalam pergumulan laku spiritual Sastra Jendra sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna dibalik Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu. Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu. Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning Gusti/Pangruwating diyu), keduanya berpangkal dan berujung pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat). Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME. Bentuk panembahan dalam pada tingkat tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam berbagai kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya; upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan sebagainya. Atau berbagai upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan dalam manembah pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra) yakni sastra jendra yang berfungsi membangun keseimbangan (balancing) dan keselarasan (harmonic) antara aura spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad raya seisinya. Tujuan utama dari balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik maupun bid’ah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi do’a untuk mohon keselamatan bagi alam semesta dan seluruh isinya. Sayang sekali, zaman semakin berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi, telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri. Alasannya demi mikul duwur mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau takut oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak berdasarkan metode ilmiah maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang tragis! Tradisi yang masih dapat dijalankan pun akhirnya hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya yakni menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut hanya sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang (custom), pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis laku dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh dan lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya. Itulah, wujud sejati wong Jawa kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi seteru Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni harmonisasi dan keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam semesta berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri, hujan salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai banyak kering, satwa liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi musim mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk), serangan hawa panas dan hawa dingin secara ekstrim (el-nino & la-nina). 
Nilai Hakekat Mistik Kejawen “Urip ing ngalam dunya, ora liya mung pinangka kanggo netepi titahing Gusti” 
Pucung (Pupuh III: Serat Wredhatama): 
“Ngelmu iku / 
Kalakone kanthi laku / 
Lekase lawan kas / 
Tegese kas nyantosani / 
Setya budya pangkese dur angkara” 

“Angkara gung / 
Neng angga anggung gumulung / 
Gegolonganira / 
Triloka lekeri kongsi / 
Yen den umbar ambabar dadi rubeda.” 

“Beda lamun kang wus sengsem / 
Reh ngasamun / 
Semune ngaksama / 
Sasamane bangsa sisip / 
Sarwa sareh saking mardi martatama” 

“Taman limut / 
Durgameng tyas kang weh limput / 
Karem ing karamat / 
Karana karoban ing sih / 
Sihing sukma ngrebda saardi pengira” 

“Yeku patut tinulat tulat tinurut / 
Sapituduhira / 
Aja kaya jaman mangkin / 
Keh pra mudha mundhi diri lapal makna” 

“Durung becus kesusu selak besus / 
Amaknani rapal / 
Kaya sayid weton mesir / 
Pendhak pendhak angendhak / 
Gunaning jalma” 

“Kang kadyeku / 
Kalebu wong ngaku aku / 
akale alangka / 
Elok Jawane denmohi / 
Paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah” 

“Nora weruh / 
rosing rasa kang rinuruh / 
lumeketing angga / 
anggere padha marsudi / 
kana kene kaanane nora beda” 

“Uger lugu / 
Den ta mrih pralebdeng kalbu / 
Yen kabul kabuki / 
Ing drajat kajating urip / 
Kaya kang wus winahya sekar srinata” 

“Basa ngelmu / 
Mupakate lan panemune / 
Pasahe lan tapa / 
Yen satriya tanah Jawi / 
Kuna kuna kang ginilut tripakara” 

“Lila lamun / 
kelangan nora gegetun / 
Trima yen ketaman / 
Sakserik sameng dumadi / 
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara” 

“Bathara gung / 
Inguger graning jajantung / 
Jenek Hyang wisesa / 
Sana pasenedan suci / 
Nora kaya si mudha mudhar angkara Tuhan Maha Agung.” 

“Nora uwus / 
Kareme anguwus uwus / 
Uwose tan ana / 
Mung janjine muring muring / 
Kaya buta buteng betah anganiaya “ 

“Sakeh luput / 
Ing angga tansah linimput / 
Linimpet ing sabda / 
Narka tan ana udani / 
Lumuh ala ardane ginawa gada” 

“Durung punjul / 
Ing kawruh kaselak jujul / 
Kaseselan hawa / 
Cupet kapepetan pamrih / 
tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa” 

Gejolak Pengembaraan Sukma Kesadaran dalam falsafah hidup Jawa dimulai dari kesadaran rasio (akal budi atau cipta) yang ditopang oleh pilar utamanya yakni kesadaran batin meliputi kesadaran jiwa atau sukma, dan kesadaran rahsa (rasa). 

Tidak hanya berhenti di situ, kesadaran rahsa masih harus dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit untuk menjalani aktivitas hidup sehari-hari (karsa). Parameter keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai makhluk ciptaan Tuhan (titahing Gusti), adalah bilamana berhasil melakukan harmonisasi dan sinergi antara perilaku manusia dengan kearifan alam semesta, antara jagad alit dengan jagad ageng, antara mikrokosmos dengan makrokosmos. 

Oleh sebab itu manusia Jawa (nusantara) selalu berusaha untuk menciptakan harmonisasi dan sinergisasi antara jagad alit (diri pribadi) atau microcosmos dengan jagad ageng (alam semesta) atau macrocosmos. 

Pergaulan Manusia Dengan Alam Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap desa memiliki tata cara atau tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki aturan dan undang-undang yang berbeda-beda pula. Setiap tata cara, tradisi, budaya, undang-undang tentu akan dipengaruhi oleh pola interaksi antara masyarakat dengan alam sekitarnya. 

Misalnya masyarakat Arab sejak pra Islam terutama wanita sudah mengenakan burqa atau kain penutup wajah dan kepala. Bentuk mode pakaiannya pun seperti jubah panjang menutup seluruh tubuh. Hal itu disebabkan oleh kondisi alam yang teramat panas di siang hari, dingin di waktu malam hari, dan sering terjadi badai gurun. Pakaian model demikian tentunya akan melindungi tubuh dari keganasan alam sekitarnya. 

Demikian pula masyarakat Afghan, India, Pakistan, walaupun memiliki latar belakang agama yang berbeda-beda namun mereka masih satu rumpun yang memiliki akar kebudayaan yang sama. Lihat saja model pakaiannya hampir memiliki kesamaan. Semua itu pada intinya, bahwa tradisi dan budaya merupakan proses interaksi manusia dengan alam. Sehingga terjadi penyeimbangan atau harmonisasi antara manusia dengan alam sekitarnya. 

Bahkan karakter alam akan sangat berpengaruh terhadap karakter masyarakatnya. Misalnya masyarakat Sunda yang ramah, andap asor, terbuka, lunak, namun juga cenderung kurang gigih, semua itu dipengaruhi oleh keadaan alam yang subur, cukup air, mudah bercocok tanam, mudah mencari mata pencaharian. Gunung-gunung dan pemandangan alamnya yang menakjubkan mempengaruhi nilai seni dan budayanya pula. 

Coba perhatikan tiupan seruling Sunda dengan nada-nadanya yang indah meliuk-liuk, merdu dan syahdu menyayat hati. Seolah mengikuti lekuk-liuk kontur pegunungan nan indah dan syahdu. Perhatikan pula logat bahasanya yang mesra mendayu, seolah mengikuti irama alam sekitarnya. 

Lain halnya dengan masyarakat Madura di wilayah bangkalan. Kondisi alam yang kering dan tanah yang sulit untuk bercocok tanam, menyebabkan gaya hidup yang serba terbatas. Cara bermukim berkelompok. Dan memiliki karakter yang keras. Seolah mengikuti keadaan alam yang ganas dan mengharuskan pola hidup yang keras. Jika mental atau karakternya tidak keras maka akan sulit bertahan hidup di tanah Bangkalan. Mata pencaharian yang sulit akan membangun sikap hemat namun cenderung melakukan invasi ke wilayah masyarakat lain yang lebih subur lingkungan alamnya. 

Hal itu hampir senada dengan keadaan masyarakat di negara Arab, yang memiliki karakter alam yang sedemikian ganas. Ganasnya alam membuat segala sesuatu menjadi serba sulit. Karena terbiasa menghadapi kehidupan yang sulit itulah akan menimbulkan karakter masyarakat yang keras, sulit bersikap toleran, dan mudah terjadi konflik horisontal misalnya perebutan property, ata pencaharian, dan wilayah kekuasaan. 

Maka dapat dipahami bahwa konflik horisontal lebih sering terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki karakter alam yang ganas dan keras. Celakanya, kristalisasi nilai kebudayaan yang keras yang berasimilasi ke dalam nilai-nilai agama atau falsafah hidup suatu masyarakat, di kemudian hari akan sangat berbahaya menjadi doktrin kebenaran apabila hanya dipahami secara tektual/teksbook. 

Itulah salah satu alasan mengapa mempelajari agama harus disesuaikan dengan konteks zamannya atau dipahami secara kontekstual. Terlebih lagi apabila nilai-nilai tersebut diekspor ke masyarakat lain yang memiliki karakter berbeda. Akan beresiko terjadi disharmoni dan anti-sinergisme dengan lingkungan alamnya. 

Masyakarat lokal (origin/pribumi) akan teralienasi oleh nilai imitasi impor yang pada gilirannya justru menghilangkan kesadaran tertinggi jati diri, yakni kesadaran rahsa sejati. Ujung dari semua itu, adalah masyarakat yang terombang ambing kehilangan jati diri, tidak mengenali karakter alam sekitarnya, serba salah langkah, dan salah kaprah dalam mengambil kebijaksanaan. 

Maka kemurkaan alamlah yang terjadi. Banyak cara dapat ditempuh untuk mewujudkannya misalnya dengan laku spiritual biasa disebut sebagai laku prihatin (perih dirasa ing batin). Cara-cara lainnya misalnya dengan berbagai ritual tradisi dan kebudayaan. Dalam mistik Kejawen atau falsafah hidup Jawa semua itu dapat dimaknai sebagai laku kebatinan (rohaniah). Tujuan dari semua itu tidak lain sebagai upaya menggapai kesadaran tinggi yakni kesadaran rahsa sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar