PERNIKAHAN YANG GAGAL
Ketika Raden Inu Kertapati
tiba di Daha, Raja Daha menyambutnya dengan sangat meriah. Dewi Liku, selir
baginda pun ikut menyambut dengan didampingi puteri-nya, Dewi Ajeng.
Raden Inu Kertapati sangat
heran, tidak melihat kekasihnya ikut menyambut. Ketika ditanyakan, tidak
mendapat jawaban yang jelas. Hanya dikatakan, bahwa Dewi Candra Kirana telah
tak ada di istana. Telah lama pergi entah kemana. Tentu saja Raden Inu
Kertapati menjadi bingung dan sedih.
Melihat Raden Inu Kertapati
bersedih, Dewi Ajeng mencoba menghiburnya. Tetapi tidak berhasil. Hati Raden
Inu Kertapati tetap tawar. Bahkan jadi merasa muak kepada Dewi Ajeng. Sebab
sangat keterlaluan dalam menghiburnya itu, disertai ucapan-ucapan yang
menjelek-jelekkan Dewi Candra Kirana.
“Dinda Dewi Ajeng, dimanakah
Dewi Candra Kirana?” tanya Raden Inu Kertapati ketika semakin muak menerima
pendekatan Dewi Ajeng yang dirasanya semakin keterlaluan.
“Kanda Dewi Candra Kirana
telah minggat dari istana, entah karena apa. Tetapi perlu kanda ketahui,
akhir-akhir ini dia sangat aneh. Seperti orang yang telah hilang ingatan,”
jawab Dewi Ajeng.
“Dinda! Bicaralah yang
benar!"
“Dinda bicara
sebenar-benarnya, kanda!” Dewi Ajeng kemudian memperlihatkan dua buah boneka.
“Kanda lihat boneka-boneka ini?”
Hati Raden Inu Kertapati
menjadi tercengang. Boneka-boneka itu terbuat dari emas dan perak, yang dikirim
olehnya khusus untuk Dewi Candra Kirana. Tetapi mengapa sekarang ada di tangan
Dewi Ajeng?
“Kedua boneka ini saya temui
di pembuangan sampah, di dekat kamar kanda Dewi,” kata Dewi Ajeng.
“Oh?” gumam Raden Inu
Kertapati. Lalu tubuhnya menjadi lemas. Tak kuat berdiri lagi. Akhirnya jatuh
terduduk.
“Kanda Raden Inu?”
Raden Inu Kertapati tidak
menyahut. Pandangannya kosong. Ia terdiam bagai patung. Bagaikan hilang
ingatan. Mungkin karena terlalu sedih. Mengingat sikap Dewi Candra Kirana yang
telah membuang boneka-boneka itu. Betapa tidak? Kedua boneka itu bukan hanya
sebagai cindera mata, tapi sangat lebih dari itu. Sebagai tanda cinta dan kasih
sayang. Maka, kalau kedua boneka itu telah dibuang, berarti Dewi Candra Kirana
sudah tidak cinta lagi. Mungkin karena sudah tidak cinta lagi itulah, maka
kemudian pergi meninggalkan istana.
Seisi istana, bahkan seisi
negeri Daha menjadi geger. Raja Daha dan Dewi Liku merasa cemas, melihat
keadaan Raden Inu Kertapati. Namun pada saat itulah, Dewi Liku mengajukan usul.
“Kurasa Raden Inu akan
kembali seperti sediakala seandainya dinikahkan dengan Dewi Ajeng,” kata Dewi
Liku.
‘Tapi. . .,” kata Raja Daha,
tanpa bisa meneruskan kata-katanya.
“Kita laksanakan sajalah,
kanda. Bukankah anakku Dewi Ajeng tidak kalah cantik dibandingkan dengan Dewi
Candra Kirana? Lagi pula kurasa Dewi Ajeng tidak keberatan.”
“Tapi Raden Inu Kertapati
telah dijodohkan dengan Dewi Candra Kirana?”
“Dijodohkan dengan orang
yang telah tiada, apa artinya? Ah, kanda lebih baik segera mengirim berita
kepada Baginda Raja Kuripan. Katakan bahwa Dewi Candra Kirana telah tiada, dan
sebagai gantinya telah ditentukan. Yaitu Dewi Ajeng. Ayolah kanda, turutilah
kata-kata dinda!”
Dewi Liku yang meskipun
hanya seorang selir, tetapi seperti mempunyai kekuatan gaib. Yang dapat
menguasai jiwa Raja Daha. Sehingga Raja Daha menjadi sangat penurut, mau
melaksanakan apa saja yang dikehendaki oleh Dewi Liku. Kemudian Raja Daha
mengirim berita kepada Raja Kuripan, sesuai dengan desakan Dewi Liku.
Raja Kuripan, ayahanda Raden
Inu Kertapati sangat terkejut menerima berita itu. Namun ia tidak keberatan,
seandainya dasar berita itu atas kehendak Raden Inu Kertapati.
Maka dikumandangkanlah
berita gembira, ke segenap pelosok kerajaan Daha. Berita tentang akan
dilangsungkannya pernikahan Dewi Ajeng dengan Raden Inu Kertapati.
Semua orang yang mendengar
berita itu menjadi kaget. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula
dapat dimaklumi, mengingat Dewi Candra yang telah tak ada di istana. Namun
orang-orang yang dekat dengan Raden Inu Kertapati merasa bingung. Sebab keputusan
pernikahan dengan Dewi Ajeng itu, ternyata diluar persetujuan Raden Inu
Kertapati. Mengingat keadaan Raden Inu Kertapati yang mendadak menjadi bagai
patung, jangankan menyetujui pernikahannya dengan Dewi Ajeng, bicara pun ia
tidak bisa.
Dewi Ajeng nampak berbahagia
sekali. Sangat tidak sabar menanti tibanya hari peresmiannya menjadi isteri
Raden Inu Kertapati itu. Ia telah berkhayal, harkatnya sebagai puteri seorang
selir tentunya akan berubah, menjadi isteri seorang pangeran dari kerajaan yang
besar.
Raja Daha telah
memerintahkan semua abdi, menyiapkan segala sesuatunya untuk menikahkan Dewi
Ajeng dengan Raden Inu Kertapati itu. Gapura-gapura dihias seindah mungkin.
Panggung-panggung kesenian telah dibangun. Bahan-bahan makanan yang beraneka
macam sudah disediakan. Sepanjang jalan dan bangunan istana, dihiasi
bunga-bungaan. Bangunan-bangunan di sekitar istana pun telah diperbaharui
warnanya, dilengkapi dengan hiasan yang meriah. Undangan pun telah disebarkan.
Beberapa malam lagi
pernikahan Raden Inu Kertapati dan Dewi Ajeng, akan dilaksanakan. Kesibukan di
dalam istana tampak semakin memuncak. Tetapi terjadilah sesuatu yang diluar
dugaan, kebakaran! Entah dari mana asalnya api, namun dengan cepat
menghanguskan persiapan pernikahan itu. Api berkobar-kobar, melahap
bangunan-bangunan. Memusnahkan perbekalan pesta perkawinan.
Api menyala dengan
bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Istana Daha menjadi heboh dan sibuk
menanggulangi api. Dengan segala upaya, para abdi raja berusaha memadamkan api.
Untunglah, akhirnya api dapat dipadamkan. Namun meskipun tak jatuh korban jiwa,
korban harta benda tidaklah sedikit. Terutama benda-benda yang tadinya
disiapkan untuk sarana pesta pernikahan, habis tanpa ampun. Bahan sandang dan
pangan yang kesemuanya pilihan, musnah menjadi abu.
Pada saat api sedang
mengamuk, rombongan Raden Inu Kertapati bergerak meninggalkan istana. Mereka
membawa Raden Inu Kertapati yang seperti sedang hilang ingatan itu. Dan
berhasil sampai keluar dari istana. Lalu langsung menuju ke Kuripan kembali.
Di tengah perjalanan. Raden
Inu Kertapati tersadar kembali. Ingatannya utuh kembali dengan mendadak. Dan
ketika para abdinya menerangkan apa yang telah terjadi, Raden Inu Kertapati
nampak masygul sekali.
“Rupanya di istana Daha
telah terjadi suatu kejanggalan. Hal itulah yang membuat Dewi Candra Kirana
pergi, meninggalkan istana. Oh, aku nyaris pula menjadi suami Dewi Ajeng,” kata
Raden Inu Kertapati. "Tapi dari mana asalnya api?”
“Kebakaran yang mengerikan
itu bukan karena kecelakaan. Tapi memang karena disengaja, sebagai perbuatan
seseorang yang rupanya ingin menggagalkan pernikahan Raden dengan Dewi Ajeng,”
kata seorang abdi Raden Inu Kertapati.
“Oh, kalau begitu aku
berhutang budi padanya. Aku harus berterimakasih kepadanya. Hm, kalau saja dia
tidak melakukan pembakaran, sekarang ini aku telah nikah dengan Dewi Ajeng.
Tapi, siapakah yang menjadi penyebab kebakaran itu?”
“Panji Semirang dan
pengikutnya. Mereka saya lihat mendatangi istana dengan diam-diam, lalu
menyalakan api.”
“Panji Semirang? Benarkah?”
“Benar, Raden.”
“Kalau begitu, mari kita
temui dia!”
Raden Inu Kertapati dan
rombongannya berangkat ke Asmarantaka. Untuk menemui Panji Semirang. Guna
menghaturkan rasa terima kasihnya. Tetapi betapa kecewanya Raden Inu Kertapati
ketika tiba di Asmarantaka. Panji Semirang dan kelompoknya telah tiada. Hanya
tinggal bangunan-bangunan yang telah kosong. Jelas terlihat, tempat itu telah
ditinggalkan dengan sangat tergesa-gesa.
Raden Inu Kertapati berusaha
mencari jejak Panji Semirang dan kelompoknya. Seluruh anggota rombongan yang
terdiri dari para abdi setia, dikerahkan mencari jejak. Tetapi nihil.
Tiba-tiba Raden Inu
Kertapati teringat pada wajah Dewi Candra Kirana. Teringat pula dengan jelas
wajah Panji Semirang. Bentuk badannya dan segala gerak-geriknya, kedua orang
itu sama. Wajah Panji Semirang dan Dewi Candra Kirana sama betul. Meskipun
mahkota dan pakaian yang dikenakannya berbeda, tetapi wajahnya sama.
Kurasa Panji Semirang itu
adalah Dewi Candra Kirana yang menyamar, pikir Raden Inu Kertapati. Dan kedua
punggawa yang bernama Kuda Peranca dan Kuda Perwira itu, tidak salah, tentulah
Ken Bayan dan Ken Sangit, Dua abdi Dewi Candra Kirana yang amat setia.
Tapi benarkah?
“Kita tak usah kembali ke
Kuripan. Kita cari Panji Semirang sampai bertemu! Dan kita tidak akan kembali
ke Kuripan, sebelum berhasil menemui Panji Semirang itu!” kata Raden Inu
Kertapati kepada rombongannya.
Semua anggota rombongan yang
terdiri dari para abdi setia itu, tak seorang pun berani memungkiri niat Raden
Inu Kertapati. Selain karena memang patuh, juga karena ingin tahu pasti,
benarkah Panji Semirang itu Dewi Candra Kirana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar