JAKA ASMARA
RAKYAT kerajaan Gagelang
bersorak kegirangan, mendengar berita musnahnya gerombolan pengacau itu. Sri
Baginda merasa lega dan lapang. Sebab beban yang selama ini menekan pundaknya,
kini telah terlepas. Keamanan yang selama ini tercemarkan oleh tindakan
gerombolan itu, kini benar-benar tenteram.
Sebagai rasa terimakasih,
Sri Baginda lalu mengadakan upacara syukuran. Raden Inu Kertapati yang dianggap
sebagai pahlawan, diharuskan ikut melaksanakan dan menikmati acara syukuran
itu.
Upacara syukuran diwujudkan
dalam dua acara. Pertama dengan melaksanakan doa bersama di puri peribadatan.
Kedua dengan melangsungkan pesta selama tujuh hari tujuh malam, dengan
dihangatkan oleh berbagai kesenian. Tercatat dalam susunan acara, pada pesta
malam terakhir akan didatangkan dalang akhli pantun kenamaan, Jaka Asmara.
Setelah upacara berdoa
bersama selesai, pesta pun dimulai. Malam pertama sampai keenam, berbagai
kesenian dipentaskan dengan meriah. Segenap warga kerajaan menikmati
kesenian-kesenian itu dengan gembira. Raden Inu Kertapati pun menikmati semua
acara, bersama para perajuritnya. Tetapi kelihatannya Raden Inu Kertapati
seperti kurang terhibur. Semua kesenian yang dipentaskan, baginya terasa tawar.
Betapa tidak, sebab pikirannya sedang kalut memikirkan Dewi Candra Kirana.
Selama menikmati hiburan dalam pesta itu, hatinya merintih menahan rindu.
Dewi Candra Kirana,
dimanakah engkau? Tidakkah engkau tahu, aku sangat merindukanmu? tanya Raden
Inu Kertapati di dalam hatinya. Pada
malam ketujuh, dalang akhli pantun memperagakan kebolehannya sebagai juru
cerita yang mahir. Ia membawakan cerita yang berjudul “Cinta Yang Penuh
Derita”. Semua penonton yang terdiri dari berbagai lapisan, menyimak cerita ki
Dalang dengan terpesona. Memang, Jaka Asmara rupanya bukan dalang pantun
sembarangan. Selain suaranya sangat enak didengar, juga bahasanya amat menarik.
Raden Inu Kertapati pun seperti hanyut oleh cerita ki Dalang, menyimaknya
dengan hati yang berdebar-debar.
Jaka Asmara memang ahli
pantun yang tak ada duanya. Kisah “Cinta Yang Penuh Derita”, yang dibawakannya
benar-benar kisah pilu yang sangat menawan. Dalam kisah itu, diceritakan
tentang seorang puteri dari sebuah kerajaan yang menderita karena
tindakan-tindakan selir ayahandanya. Puteri itu bernama Dewi Rembulan.
Konon Dewi Rembulan ingin
mempunyai adik. Tetapi keinginannya itu tak mungkin terkabulkan, mengingat
ibundanya yang telah uzur. Sri Baginda lalu mengambil seorang selir, Dewi
Matahari. Dari selir itulah, Dewi Rembulan mendapat adik. Sangat cantik,
bernama Dewi Siang. Mulanya Dewi Rembulan sangat berbahagia. Tetapi kemudian
sangat menderita. Karena Dewi Matahari sangat kejam dan berhati dengki. Apalagi
ketika Dewi Rembulan dipertunangkan dengan Raden Perkasa, sikap Dewi Matahari
kepada Dewi Rembulan sangatlah kasar. Kepada Permaisuri pun, Dewi Matahari
bersikap memusuhi tanpa alasan yang jelas. Tapi orang-orang tahu, Dewi Matahari
ingin mempunyai kedudukan sama dengan Permaisuri. Untuk itu ia pun berhasil
mempengaruhi Sri Baginda, sehingga apa yang dikehendakinya selalu dilaksanakan.
Melihat dan menerima sikap Dewi Matahari itu, Permaisuri jatuh sakit dan
kemudian meninggal. Betapa hancurnya hati Dewi Rembulan, sepeninggal ibundanya
itu, dunia seolah-olah telah kiamat.
Ketika Dewi Rembulan
dipertunangkan dengan Raden Perkasa, putera raja negeri tetangga, Dewi Matahari
merasa iri dan sakit hati. Sebenarnya ia berharap, Raden Perkasa akan memilih
Dewi Siang sebagai calon isterinya. Maka dari itu ia selalu berusaha
menggagalkan pertunangan Dewi Rembulan dan Raden Perkasa itu. Umpamanya saja,
setiap kiriman dari Raden Perkasa buat Dewi Rembulan, selalu diberikan kepada
Dewi Siang. Terakhir kali Raden Perkasa mengirimkan dua buah boneka,
masing-masing terbuat dari emas dan perak. Dewi Rembulan sangat berbahagia
menerimanya, siang-malam kedua boneka itu ditimang-timangnya.
Melihat kedua boneka itu,
Dewi Siang ingin memilikinya. Lalu memintanya. Dewi Rembulan terpaksa
memberikannya yang terbuat dari perak. Tetapi Dewi Siang justeru ingin
dua-duanya. Tentu saja Dewi Rembulan tidak sudi memberikannya. Sebenarnya
jangankan dua-duanya, memberikan yang sebuah pun hatinya sangat berat.
Mengingat boneka-boneka itu pemberian kekasihnya yang sangat dicintainya.
Dewi Siang menangis. Lalu
mengadu kepada ibundanya, Dewi Matahari. Dan Dewi Matahari mengadukannya pada
Sri Baginda. Dikatakannya, bahwa Dewi Rembulan bersikap kasar dalam menolak
keinginan Dewi Siang itu. Disertai dengan caci-maki dan umpatan kotor, yang tak
patut diucapkan oleh seorang puteri. Sungguh pandai Dewi Matahari dalam
mengatur kata-kata, sehingga Sri Baginda yang memang sangat penurut kepadanya
itu, menjadi murka. Lalu didatanginya Dewi Rembulan, kemudian meminta
boneka-bonekanya. Dengan hati yang hancur, Dewi Rembulan berusaha menyadarkan
ayahandanya. Diterangkan bahwa boneka-boneka itu sangat besar artinya baginya,
mengingat si pemberinya adalah calon suaminya. Tapi Sri Baginda menjadi sangat
murka, lalu mengambil gunting dan memotong rambut Dewi Rembulan.
Rambut adalah mahkota wanita
yang paling luhur. Bisa dibayangkan, betapa sedihnya Dewi Rembulan setelah
rambutnya dipotong itu. Selain itu, kedua bonekanya pun dirampas. Diberikan
kepada Dewi Siang. Lama sekali Dewi Rembulan menangis, meratapi nasibnya yang
malang itu. Lalu timbullah niat ingin meninggalkan istana.
Pada suatu malam, Dewi
Rembulan dan abdi-abdi setianya meninggalkan istana. Mereka menuju rimba yang
terletak di antara kerajaannya dengan kerajaan kekasihnya. Di sana ia menyamar
sebagai satria, dengan gelar sebagai Panji Kelana. Bersama para abdinya yang
juga menyamar sebagai kaum pria, kemudian beraksi menghadang orang-orang yang
berlalu lalang ke rimba itu. Diajaknya untuk bermukim, membangun pemukiman baru
....
Begitulah dalang Jaka Asmara
membawakan pantunnya. Sangat menarik. Membuat setiap orang yang mendengarnya,
terpesona dan terpaut ingin menyimak sampai cerita itu selesai. Lain halnya
dengan Raden Inu Kertapati, cerita yang dibawakan dalang Jaka Asmara itu
seolah-olah cerita tentang kekasihnya dan dirinya. Sangat persis. Apalagi
ketika disebut-sebutnya dua buah boneka dan penyamaran sang puteri sebagai
Panji Kelana. Raden Inu Kertapati yakin, cerita itu bukan cerita karangan ki
Dalang semata. Tetapi cerita yang sebenarnya. Cerita tentang diri Dewi Candra
Kirana.
Raden Inu Kertapati bangkit
dari duduknya. Dengan diam-diam mencari tempat yang baik untuk melihat diri ki
Dalang. Hatinya mendadak tercengang. Kaget dan terguncang. Diri ki Dalang
sangat mirip dengan Panji Semirang. Juga sangat mirip dengan Dewi Candra
Kirana. Tidak salah, dialah yang sedang kucari! kata Raden Inu Kertapati di
dalam hatinya.
Dewi Candra Kirana telah
menyamar sebagai Panji Semirang, kemudian sebagai dalang Jaka Asmara. Dan
cerita yang dibawakannya, adalah cerita dirinya! Oh, betapa pahitnya apa yang
dialami oleh Dewi Candra Kirana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar