Bagi masyarakat Madura, sapi tak hanya memiliki fungsi ekonomi. Tapi prestis dan status yang jadi kebanggaan di desanya. Ludhy Cahyana menilik perhelatan khas Madura, kerapan sapi.
Sejatinya
diakhir Oktober itu justru perdebatan soal kerapan sapi lebih panas dari musim
kemarau yang kelewat panjang. Surat edaran Gubernur Nomor 1/Inst/2012/ Tanggal
1 Mei 2012 Tentang Pelaksanaan Kerapan Sapi Tanpa Kekerasan — yang didukung
para ulama -, melarang kerapan sapi alias adu cepat sapi tanpa kekerasan.
“Kerapan sapi hendak dikembalikan ke tradisi awal tanpa kekerasan,” kata
budayawan sekaligus Wakil Bupati Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirjo.
Kerapan
sapi mulai ada di Madura sejak abad 13. Menurut Kadarisman, Pangeran Katandur
seorang bangsawan dari Pulau Sapudi, Sumenep, terbilang orang yang pertama kali
mempopulerkan kerapan sapi. Ketekunan sang pangeran rupanya diamati oleh
rakyatnya. Mereka meniru membajak sawah dengan memanfaatkan sapi. Hasilnya
tanah di Pulau Sapudi yang gersang menjadi subur, hasil panen melimpah.
Pangeran Katandur lantas melombakan sapi-sapi pembajak itu untuk adu lari,
sebagai rasa syukur hasil panen yang melimpah dan menyenangkan rakyatnya.
Lantas
digantilah pembajak yang berat dengan bambu yang ringan, agar sapi bisa melesat
cepat. Kerapan sapi lalu menjadi semacam pesta rakyat. Awalnya tak ada
kekerasan, sapi hanya dicambuk dengan sepotong kayu atau bambu. Ketika kerapan
sapi mulai dipertandingkan antar kampung hingga Kabupaten dalam kompetisi Piala
Presiden, mulailah budaya kekerasan menimpa sapi-sapi jantan itu.
Tokang
tongko
alias joki biasanya menggunakan rekkeng atau tongkat kayu berpaku untuk
memukul pantat sapi agar berlari lebih kencang. “Luka pada sapi diberi
spiritus, ekornya ditusuk peniti, bahkan matanya diberi balsam, agar sapi
menjadi panik dan berlari sekencang-kencangnya” kata Mat Halil penggemar
kerapan sapi. Inilah yang membuat para ulama di Madura prihatin dengan
penyiksaan ternak, meskipun masyarakat menganggapnya tradisi.
Walhasil,
paguyuban pemilik sapi kerap (sapi balap) terpecah. Pemilik sapi kerap
di Kabupaten Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan, mematuhi Surat Edaran Gubernur
agar tak ada lagi kekerasan pada sapi kerap, hanya Sampang yang menolak.
“Kami tetap menghelat kerapan sapi dengan kekerasan karena menghormati peserta
yang telah melewati seleksi, kata Ketua Paguyuban Kerapan Sapi, Pamekasan,
Suparto. Pada 21 Oktober, kerapan sapi Piala Presiden dihelat dalam dua versi -
di Bangkalan tanpa kekerasan dan di Sampang dengan kekerasan- namun pada 2013
nanti Piala Presiden dipastikan dijadikan satu, tanpa kekerasan.
SAPI
Dl MATA MASYARAKAT MADURA
“Orang
Madura boleh belum mandi, tapi sapi harus mandi dulu,” begitu kata budayawan
Kadarisman Sastrodiwirjo. Itulah cinta masyarakat Madura kepada sapi-sapinya.
Maka sapi Madura dengan mudah dikenali, dari warna kulitnya yang coklat
mengkilap, sehat dan tentu saja bersih.
Sapi
memiliki nilai ekonomi, karena bisa membantu bercocok tanam atau dijual
dagingnya. “Karena cintanya pada sapi, kandang sapi zaman dulu berada di dapur
yang luas,” imbuh Kadarisman. Gunanya, agar asap dari kayu bakar menghangatkan
sapi, sekaligus mengusir nyamuk yang menggigit sapi.
Sejak
kecil sapi-sapi calon juara itu dilatih. Mereka dimandikan di pagi hari, dan
dikeringkan dengan posisi kaki depan berdiri di atas pohon tumbang. “Latihan
ini menghasilkan sapi yang tegap, yang selalu memandang ke depan,” papar
Kadarisman. Sebab, orang Madura meyakini sapi menunduk adalah sapi yang lemah.
Agar
staminanya kuat, sapi diberi ramuan jahe, merica, dan berbagai rempah yang
dicampur sekitar 30 butir telur. Telur itu diminumkan dengan bambu ke mulut sapi.
Sapi itu juga dipijat dengan balsam atau remason agar otot-ototnya tetap lentur
dan memiliki tubuh proporsional. Sapi kerap umumnya kekar dan tegap.
Sapi-sapi
kerap yang masih umur setahun-dua tahun dihargai Rp 90 juta. Harganya melambung
hingga Rp 300 juta bila sudah bisa berlomba.
Tahukah Anda?
Pengertian
kerapan merujuk pada adu sapi yang memakai kaleles - yang terbuat
dari bambu yang ringan. Fungsi kaleles seperti sais atau tempat
joki (tokang tongko) menghela sapi. Untuk mentautkan sapi menjadi satu
pasang digunakan pangonong pada leher sapi.
Ada
beberapa kerapan sesuai kebutuhan acara, misalnya kerrap kei
(kerapan kecil), kerrap raja (kerapan besar), kerrap onjangan
(kerapan undangan), kerrap jar-ajaran (kerapan latihan).
Sapi
kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada
air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegak, kokoh,
berekor panjang, dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda
dengan sapi biasa.
Sapi
kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada
saat-saat tertentu diberi jamu.
Sapi
kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi
bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan
dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah,
memerlukan pemanasan terlebih dahulu).
Pada
waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan tokang tongko
(joki), tokang tambeng (bertugas menahan, membuka dan melepaskan
rintangan untuk berpacu), tokang gettak (penggertak sapi agar sapi
berlari cepat), tokang gubra (orang-orang yang menggertak sapi dengan
bersorak sorai di tepi lapangan), tokang ngeba tali (pembawa tali
kendali sapi dari start sampai finish), tokang nyandak (orang yang
bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), dan tokang
tonja (orang yang bertugas menuntun sapi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar