PANJI SEMIRANG
RADEN
INU Kertapati putera Raja Kuripan, telah sejak lama dipertunangkan dengan Dewi
Candra Kirana, puteri Raja Daha. Mereka merupakan pasangan yang serasi. Yang
putera sangat tampan, gagah dan perkasa. Sedangkan yang puteri sangat elok dan
rupawan.
Sebagai
cindera mata, Raden Inu Kertapati sering sekali mengirimkan hadiah-hadiah bagi
kekasihnya itu. Terakhir kalinya berupa sepasang boneka, yang masing-masing
terbuat dari emas dan perak. Yang dari emas dibuat sangat bersahaja, sehingga
tampaknya seperti asal jadi. Sedangkan yang dari perak, dibuat sangat indah
dengan dipenuhi ukiran yang antik.
Beberapa
bulan kemudian, Raden Inu Kertapati telah sangat rindu kepada kekasihnya itu. Ia
pun lalu meminta ijin kepada ayahandanya, untuk mengunjungi Dewi Candra Kirana
di Daha. Disamping ingin melepaskan kerinduannya, ia pun ingin tahu, yang manakah
dari kedua boneka kirimannya itu yang paling disayangi kekasihnya.
Setelah
mendapat ijin dan restu ayahandanya, Raden Inu Kertapati pun berangkat ke Daha.
Diiringi rombongan pengawal dan perbekalan yang lengkap. Tetapi aneh. Sejak
berangkat meninggalkan istana Kuripan, hatinya selalu cemas dan gelish tanpa
sebab. Semakin jauh meninggalkan Istana, kecemasan dan kegelisahannya semakin
menjadi-jadi. Seandainya saja tidak disertai kerinduan, sebenarnya Raden Inu Kertapati
ingin membatalkan niatnya itu.
Ketika
hampir tiba di tengah perjalanan, tiba-tiba didapat berita, bahwa di kawasan antara
Daha dan Kuripan sedang dilanda kekacauan. Konon gerombolan dari Asmarantaka
yang dipimpin oleh Panji Semirang, sedang merajalela. Menculiki orang-orang dan
merampasi harta bendanya. Mendengar berita buruk itu, hampir segenap angota rombongan
Raden Inu Kertapati menjadi takut. Tetapi Raden Inu Kertapati segera menenangkan
rombongannya, bahkan diperintahkannya agar tetap melanjutkan perjalanan sambil berwaspada
sepenuhnya.
Raden
Inu Kertapati tidak merasa gentar, bahkan sangat penasaran. Siapa sebenarnya Panji
Semirang yang berani mengacau di kawasan antara kerajaan Daha dan dan Kuripan
itu?
Orang-orang
yang pernah diculik gerombolan Panji Semirang tidak pernah pulang kembali,
demikian berita yang didengar selanjutnya. Tetapi hal itu justeru semakin mengundang
kepenasaranan Raden Inu Kertapati.
Ketika
rombongan Raden Inu Kertapati tiba di pertengahan jarak antara Daha dan Kuripan,
tiba-tiba gerombolan Panji Semirang menghadangnya. Namun anehnya, penghadangnya
tidak disertai dengan sikap seperti hendak menyerang. Lebih mirip sebagai
penyambutan. Tak terlihat tanda-tanda keangkeran yang akan berlanjut dengan tindakan
kekerasan. Hal itu membuat Raden Inu Kertapati semakin keheranan.
Dua
orang punggawa maju ke depan, mendekati Raden Inu Kertapati. Mereka mengaku bernama
Kuda Perwira dan Kuda Peranca, orang-orang yang paling dekat dengan Panji Semirang.
Dan mempersilahkan Raden Inu Kertapati untuk menemui Panji Semirang.
Dengan
tidak merasa gentar sedikit pun tetapi tetap waspada, Raden Inu Kertapati
segera menuju sebuah bangunan di tengah-tengah bangunan yang tampaknya masih baru.
Disambut oleh seorang satrya yang tampan dan perkasa, yang tindak-tanduknya lemah lembut.
“Selamat
datang di Asmarantaka, wahai Raden yang mulia,” kata satrya itu sambil
mempersilahkan duduk.
“Siapakah
Anda?” tanya Raden Inu. Seraya duduk sambil tetap memperhatikan satrya itu.
Rasanya seperti pernah berjumpa. Tapi entah dimana dan kapan. Juga tadi, ketika
melihat wajah-wajah Kuda Peranca dan Kuda Perwira rasanya pernah mengenalnya.
Raden Inu berpikir keras mengingat-ingatnya.
Tapi sayang sekali. Tetap tidak ingat,
dimana dan kapan pernah melihat
dan mengenalinya.
Panji
Semirang? Inikah tampang orang yang dikabarkan sebagai pemimpin gerombolan yang
mengacau di kawasan antara Daha dan Kahuripan itu? Sedikit pun tak telihat sikap-sikap kekerasannya. Justeru
sebaliknya, Sangat lemah lembut dan halus. Mungkinkah kabar yang didengar itu bertolak
belakang dengan kenyataannya?
“Panji
Semirang, darimanakah asal Anda?” tanya Raden Inu Kertapati.
“Dari
sini, dari Asmarantaka.”
“Oh,
ya? Jadi tempat ini bernama Asmarantaka? Rasanya sangat aneh. Dulu tempat ini
hanya hutan belantara yang subur, yang hanya dihuni binatang-binatang buas.”
“Benar
sekali. Tetapi disini sekarang berdiri telah pemukiman yang bernama
Asmarantaka. Sayalah yang menjadi peguasanya,”
“Hmmm,
sungguh tak disangka. Lalu apa maksud tindakan Anda, yang konon sering menculik
orang-orang yang berlalu-lalang di tempat ini?”
“Maaf
Raden, Anda salah dengar. Sebenarnya kami tidak menculik. Tetapi mengajak
setiap orang untuk bermukim disini. Tidak ada paksaan, tetapi kebanyakan orang
senang disini dan menjadi warga Asmarantaka. Sebagian besar warga kami adalah
orang-orang Daha.”
“Hmm.
Lalu apa maksud Anda menghadang rombongan kami?”
“Maaf
Raden, kami bukan menghadang. Tetapi hanya memperslaahkan rombongan Raden untuk
singgah. Maklum, Raden telah memasuki wilayah kami.”
“Oh
ya? Lalu?”
“Karena
Raden telah memasuki wilayah kami, sepatutnyalah kami mengetahui apa tujuan
Raden.”
“Saya
sedang menuju ke Daha.”
“Untuk?”
“Untuk
menemui kekasih saya, Dewi Candra Kirana puteri raja Daha.”
Panji
Semirang menunduk pelahan. Namun Raden Inu Kertapati dapat melihat, rona merah
membaur di seputar wajah Panji Semirang.
“Oh,
tentunya kekasih Raden itu sangat cantik?” kata Panji Semirang, sambil tetap
menunduk.
“Anda
belum pernah melihatnya?”
“Belum.”
“Aneh.
Padahal Dewi Candra Kirana sangat terkenal sampai ke negeri yang agak jauh.”
Tentunya
Dewi Candra Kirana sangat berbahagia, mempunyai calon pendamping yang segagah
dan setampan Raden.”
“Kami
telah dipertunangkan sejak kecil.”
“Raden
benar-benar mencintai Dewi Candra Kirana itu?”
“Tentu
saja saya sangat mencintainya.”
“Kalau
tidak salah di Daha ada dua orang puteri?”
“Betul,
yang kesatu adalah Dewi Candra Kirana calon isteri saya. Yang kedua adalah
dinda Dewi Ajeng, puteri dari selir Raja Daha itu.”
“Cantik
manakah Dewi Candra Kirana dan Dewi Ajeng?”
“Bagi
saya di dunia ini hanya Dewi Candra Kirana seorang yang paling cantik.”
“Apakah
Raden tidak salah pilih?”
“Tidak.”
“Mengapa
tidak memilih Dewi Ajeng?”
“Pilihan
saya telah jatuh pada Dewi Candra Kirana!”
Raden
Inu Kertapati tiba-tiba merasa curiga. Jangan-jangan Panji Semirang menaruh
hati kepada Dewi Candra Kirana.
“Seandainya
Raden harus memilih Dewi Ajeng, bagaimana?” tanya Panji Semirang.
Raden
Inu Kertapati menghela napas yang dalam. Pandangannya menusuk sangat dalam,
penuh curiga pada diriPanji Semirang.
“Bagi
saya tak ada pilihan lain, kecuali Dewi Candra Kirana. Tak bisa diganti atau
diimbangi lain dewi. Aneh sekali pertanyaan Anda itu, apakah maksudnya?” kata
Raden Inu Kertapati.
“Maaf
Raden, saya telah bertanya terlalu jauh. Janganlah Raden menjadi marah,” kata Panji
Semirang.
“Panji
Semirang, saya tidak bisa berlama-lama disini. Saya harus segera ke Daha. Dewi
Candra Kirana tentu telah menanti saya, Ijinkan saya meneruskan perjalanan.”
“O,
tentu saja, Raden. Saya hanya sekedar ingin melihat dan berkenalan dengan Raden
yang sangat terkenal. Kini semuanya sudah saya dapatkan. Tentu saja saya tidak
akan menghambat perjalanan Raden. Silahkan, semoga Raden sampan di Daha tanpa
suatu halangan. Dan sampaikan salam perkenalan saya buat Dewi Candra Kirana.”
Kemudian
Raden Inu Kertapati dan rombongan meneruskan perjalanannya ke Daha. Tetapi di
sepanjang perjalanan, hatinya tetap bertanya-tanya tentang diri Panji Semirang yang
dianggapnya bersikap sangat aneh itu.
Panji
Semirang tidak sejahat dan sekejam seperti yang diberitakan orang, pikir Raden
Inu Kertapati. Tetapi wajah dan gerak-geriknya, sungguh, membuat Raden Inu
Kertapati kebingungan. Rasanya sangat kenal. Pernah intim. Tetapi dimana dan
kapan?
“Panji Semirang, saya
tidak bisa berlama-lama disini. Saya harus segera ke Daha. Dewi Candra Kirana
tentu telah menanti saya, Ijinkan saya meneruskan perjalanan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar