PERHITUNGAN HARI-BULAN-MANGSA DAN
WINDU
Sejak
Tanah Jawa dihuni oleh penduduk yang pertama, yalah orang-orang yang dibawa
oleh Empu Sangkala bersaudara dan akhirnya para puruhita sejumlah sepuluh
orang, mereka semua masih memeluk Agama Hindu, dan sudah menjadi adat kebiasaan
mengenal akan perhitungan bulan, masa, tahun yang dinamakan pancala. Di Tanah
Jawa dikenal dengan istilah sangkala, sebagai tanda penghormatan dan peringatan
bagi Empu Sangkala ketika-mendarat di Tanah Jawa, seperti yang tersebut dalam
kitab Purwa-pada.
Konon
pada waktu Empu Sangkala bertapa, ia mendapatkan wangsit yang
kemudian-memperkenalkan 5 (lima) macam hari untuk panembah.
1. Ada hari yang dinamakan hari Sri, yalah hari bagi keturunan Dewi Sri
yang konon memiliki cahaya putih. Cara menyembahnya menghadap ke arah
Timur.
2. Ada hari yang dinamakan hari Kala, yalah hari bagi keturunan Sang
Hyang Kala yang konon cahayanya kuning (jenar). Cara menyembahnya menghadap ke
arah Selatan.
3. Ada hari yang dinamakan hari Brahma (Brama), yalah hari bagi
keturunan Sang Hyang Brahma yang konon cahayanya merah. Cara menyembahnya
menghadap ke arah Barat.
4. Ada hari yang dinamakan hari Wisnu, yalah hari bagi keturunan Sang
Hyang Wisnu yang konon cahayanya hitam. Cara menyembahnya, menghadap ke arah
utara.
5. Ada hari yang dinamakan hari Guru, yalah hari bagi keturunan Hyang
Guru yang konon cahayanya beraneka warna. Cara menyembahnya menengadah keatas
dan menundukkan kepala.
Demikianlah
asal-mula penduduk Tanah Jawa mempunyai hitungan hari lima, yaitu : Sri, Kala,
Brahma, Wisnu dan Guru. Untuk menghindari rasa tidak hormat kepada para dewa
sebutannya diganti dengan penjelasan warnanya masing-masing.
Kelima
warna tadi, adalah sebagai berikut di bawah ini :
1.
Warna putih, dinamakan seta.
2.
Warna kuning atau jenar, dinamakan pita.
3.
Warna merah, dinamakan reta.
4.
Warna hitam, dinamakan Kresna.
5.
Warna yang bermacam-macam, dinamakan
pancawarna.
Akhirnya
masyarakat terbiasa untuk menamakannya dengan kata-kata : pethakan (seta
atau putih), jenean (kuning, jenar, pita) abritan (merah), cemengan
(hitam, kresna), dan mancawarna (pancawarna atau macam-macam warna),
yang cara menyebutnya pada waktu itu masih mempergunakan dengan bahasa Kawi:
Seta, pita, reta, kresna dan pancawarna. Demikianlah cerita mengenai arah
panembah bagi keperluan perhitungan menurut cara-cara yang dianjurkan Empu
Sangkala.
Pada
suatu ketika Sang Hyang Surya berkenan menjelma jadi seorang pandeta bernama
Resi Radi di Tanah Jawa, dan membangun sebuah padepokan di Gunung Tasik. Sejak
Resi Radi berada di gunung Tasik banyak orang-orang yang berguru padanya.
Empat
tahun setelah Resi Radi bermukim di Gunung Tasik, pada tahun Sarwwadari,
Suryasangkala 288 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Brahmana Ngesti
Panembah, tahun candra-sangkala 296 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi
Mangsa Kasanga Manglar dan bertepatan masa Kartika, Resi Radi berkenan
mencipta hari berjumlah 5, masing-masing dinamakan: Legi, Paing, Pon, Wage dan
Kliwon. Dalam perkembangannya hari yang, berjumlah lima ciptaan Resi Radi tadi
dijadikan rangkapan (kelengkapan) bagi hari ciptaan Empu Sangkala. Nama-nama
hari ciptaan Empu Sangkala kebanyakan masih mempergunakan bahasa Kawi. Demikian
pula hari-hari ciptaan Resi Radi, juga mempergunakan bahasa Kawi.
Hari
yang dinamakan Seta diganti dengan kata Legi atau Manis. Wage disebut Kresna
dan Kliwon disebut Kasih. Dengan diselang-seling terjadilah ke lima hari
tersebut: Manis, Paing, Pon, Kresna, Kasih.
Pada
jaman Resi Radi diperkenalkan juga rangkapan perhitungan untuk panatamangsa
berdasarkan kebiasaan orang-orang Hindu.
Di
Tanah Jawa lazimnya dikenal dengan nama-nama sebagai berikut di bawah ini :
1.
Masa Kartika, dinamakan Kasa,
2.
Masa Pusa dinamakan Karo.
3.
Masa Manggasri dinamakan Katiga.
4.
Masa Sitra dinamakan Kapat.
5.
Masa Manggakala dinamakan Kalima.
6.
Masa Naya dinamakan Kanem.
7.
Masa Palguna dinamakan Kapitu.
8.
Masa Wisaka dinamakan Kawolu.
9.
Masa Jita dinamakan Kasanga.
10.
Masa Srawana dinamakan Kasadasa.
11.
Masa Padrawana dinamakan Pasta.
12.
Masa Asuji dinamakan Sadda.
Adapun
panatamangsa tersebut, berdasarkan hitungan tahun Suryasangkala. Panatamangsa
ciptaan Resi Raddi tadi dinamakan mangsa Prawa, dan dipergunakan sebagai
rangkapan panatamangsa Hindu.
Demikian
pula Resi Radi berkenan menciptakan masa perhitungan warsa (tahun), nama-nama
untuk bintang-bintang yang dijadikan pedoman jalannya tahun surya (matahari)
dan candra (bulan). Demikianlah asal mula masyarakat Tanah Jawa mempergunakan
hitungan untuk hari dua macam, dan berdasarkan hitungan lima dan lima.
Dipergunakannya pranata mangsa Prawa, dan membaca keadaan bintang-bintang di
langit sebagai suatu isyarat atau tanda datangnya hujan dan arah. Sampai
sekarang pun masyarakat Tanah Jawa masih mempergunakan tanda-tanda bintang di langit
sebagai isyarat hujan dan arah mata angin.
Bintang-bintang
yang dijadikan isyarat tersebut antara lain: Bintang Jakabelek, Lanjarngirim,
Luku, Jaran dhawuk, Gubug penceng, Bimasekti, dan Wuluh.
Dalam
tahun Iwa suryasangkala 316, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Horaging
Wukir Kabesmi, tahun candrasangkala 327, ditandai dengan sengkalan yang
berbunyi Pujaning Brahmana Guna, seorang siswa Resi Raddi yang bernama
Raden Raddiya putera Prabu Palindriya diberi tugas untuk mengambil panah milik
ayahandanya yang tertinggal di padepokan. Panah telah dihaturkan dan akhirnya
Raden Raddiya diangkat sebagai patih dan bernama Silacala.
Tak
lama setelah diangkat sebagai patih, Silacala ditugaskan untuk menyerang dan
merebut Negara Gilinghaya. Raja Negara Gilinghaya bernama Prabu Sitawaka, yang
tak lain adalah Dewi Sri yang menyamar sebagai seorang priya. Setelah Negara
Gilinghaya kalah. Dewi Sri yang menyamar sebagai Prabu Sitawaka kembali dalam
wujud semula dan pergi meninggalkan Gilinghaya masuk ke hutan untuk bertapa.
Ayahanda
Patih Silacala yalah Prabu Palindriya, mengangkat Patih Silacala menjadi raja
di Gilinghaya. Sejak Silacala menjadi raja, nama Gilinghaya dialih menjadi
Gilingwesi.
Konon
Prabu Watugunung yang merupakan saudara tertua yang lahir dari Dewi Soma
dicarinya. Setelah bertemu Prabu Watugunung dijadikan paranpara pendeta di
pertapaan Andongdadapan di Gadingmawukir. Pada masa itulah Resi Raddi berkenan
menata hari dan pawukon, mempergunakan nama-nama isteri, putra Prabu Palindriya
dan nama dari sang prabu sendiri.
Para
isteri dari Prabu Palindriya yang terlahir dari Sang Hyang Anantaboga sebanyak
dua orang. Dewi Basundari beralih nama Dewi Sinta dan yang muda bernama Dewi
Banuwati beralih nama Dewi Landep. Seterusnya disambung dengan nama-nama para
putra sehingga jumlahnya mencapai tigapuluh. Urutan nama-nama pawukon tersebut,
sebagai berikut :
1.
Sinta,
2.
Landep,
3.
Wukir.
4.
Kurantil.
5.
Tolu,
6.
Gumbreg,
7.
Warigalit,
8.
Warigagung,
9.
Julungwangi.
10.
Sungsang.
11.
Galungan.
12.
Kuningan,
13.
Langkir,
14.
Mandasiya,
15.
Julungpujud,
16.
Pahang,
17.
Kuruwalut,
18.
Marakeh,
19.
Tambir,
20.
Medangkungan,
21.
Maktal,
22.
Wuye,
23.
Manahil.
24.
Prangbakat,
25.
Bala,
26.
Wugu,
27.
Wayang,
28.
Kulawu,
29.
Dukut,
30.
Watugunung.
Setiap
tujuh hari wuku-wuku tadi berganti. Sebagai hitungan untuk membaca curah hujan
dan datangnya badai, pawukon tersebut dijadikan tolok ukur hitungannya dengan
rangkapan hitungan masa surya (matahari).. Demikian pula, pawukon tersebut
dijadikan sumber keterangan untuk membaca watak dan pribadi seseorang dan
rejekinya.
Dalam
membaca watak, pribadi dan rejeki seseorang masih ditambah lagi dengan
perhitungan sesuai padewan yang tercantum di dalamnya. Konon perhitungan
tersebut didasarkan atas watak-watak para arya, dan pribadi dari para dewa yang
bersangkutan. Tak ketinggalan juga disertakan pula perhitungan akan hama, sengkan
dan turunan asu ajag, celeng tambalung, kutilapas, sapi gumarang, tikus
jinada, menjangan randi dan lain sebagainya.
Dalam
tahun Wakdaniya suryasangkala 386, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Wewayanganing Brahmana Katon Muksa,
tahun candrasangkala 397, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Pandita Trusing Guna,
Resi Raddi mendapatkan sasmita (alamat) dari Hyang Surya, pesannya, “Mawi
satata kadaluwarsa, waluya laya,” Artinya: Orang mendapatkan bencana,
dikarenakan bepergian terlalu lama.
Resi
Raddi dapat tanggap akan sasmita Hyang Surya, bahwasanya dirinya sendirilah
yang dilambangkan dengan kata-kata tadi. Sebab Resi Raddi telah lama berada di
mertyapada, meninggalkan kahyangan. Pada keesokan harinya Resi Raddi segera
memuja kancana yang tidak lain merupakan hari srengenge (matahari) dan sejak
itu dinamakan hari Radite.
Pada
malam harinya Brahmana Raddi ditemui Hyang Candra, yang memberikan sasmita, “Waktra
anisana ri netra, awidde ngudaya” yang artinya: “Hilang kebijaksanaan,
dikarenakan mata terlepas dari wajah (raut muka).” Brahmana Raddi menyadari
bahwa dirinya telah lama meninggalkan kahyangan, sehingga sepeninggal sang
brahmana kahyangan seakan-akan gelap. Pagi harinya Brahmana Radi -memuja salaka
(perak), ditujukan untuk memuja rembulan (bulan). Sejak itu hari pemujaan
salaka dinamakan hari Soma yang berarti bulan.
Malam
harinya Brahmana Raddi mendapatkan sasmita dari bintang Anggara. Kata-katanya
berbunyi, “Sewari taye sogata, rabanggun hura”. Makna dari sasmita tadi,
“Para murid kehilangan gurunya, terjadilah perselisihan dan huru-hara.”
Brahmana Raddi menyadari bahwa selama bertempat tinggal di mertyapada,
terjadilah huru-hara di kahyangan. Pada keesokan harinya sang brahmana memuja
api. Sejak saat itu hari untuk memulyakan api dinamakan Anggara, yang berarti
hari api.
Pada
malam harinya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Budda. Sasmita
bintang Budda: “Sakatanira daruki, pangira dalayun.” Makna dari sasmita
bintang Budda tadi: “Manakala ada pedati tanpa sais, hewan-hewan penariknya
akan kehilangan arah.” Brahmana Raddi merasa selama di mertyapada
perjalanan surya mengalami banyak perubahan. Pagi harinya Brahmana Raddi
memuliakan besi dengan tujuan memuliakan juga bumi. Sejak hari pemuliaan tadi
dinamakan hari Budda yang berarti bumi.
Malam
berikutnya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Wrahaspati yang
memberikan lambang kata-kata “Mamingkareng adikara, karanya tunna.”
Makna sasmita bintang Wrahaspati tadi: “Manakala ada orang meninggalkan
pekerjaan yang penting, akhirnya dirinya sendirilah yang mendapatkan kerugian.”
Brahmana
Raddi menyadari bahwa turunnya ke bumi, banyak pekerjaan yang penting
diterlantarkan. Akhirnya sang brahmana menyadari pula bahwa hanya kerugianlah
yang menimpanya. Pada pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan perunggu sekaligus
memuliakan halilintar. Hari pemuliannya dinamakan hari Wrahaspati, yang berarti
halilintar dan lazimnya orang mengatakan Respati.
Pada
malam harinya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Sukra, yang
memberikan kata-kata lambang : “Katenti suti juga ya murkka, madurhywaka.”
Maknanya: “Menuruti segala keinginan itu disebut murka, akhirnya
kesusahanlah (bencana) yang didapat.” Brahmana Raddi menyadari bahwa selama
dirinya berada di mertyapada akan dikatakan murka oleh para dewa. Pada pagi
harinya Brahmana Raddi memuliakan tembaga sekaligus memuliakan air. Sejak hari
pemuliaan tadi, disebut hari Sukra yang berarti larangan.
Pada
malam berikutnya, Brahmana Raddi menerima sasmita lagi dari bintang Niscaya
yang mengatakan. “Samadi masasaya, lanepa laksana.” Makna dari sasmita
tadi: “Jika janji telah datang pada masanya, tetap harus ditepati.”
Brahmana Raddi menyadari bahwa dahulu pernah berjanji dengan para dewa, bahwa
hanya seratus tahun saja di dunia. Itulah sebabnya, dalam hati sang brahmana
merasa malu sebab telah lebih dari waktu yang pernah dijanjikannya.
Pada
keesokan harinya Brahmana Raddi mengadakan pemuliaan timah yang berarti juga
memuliakan angin. Sejak hari pemuliaan itu, dinamakan hari Saniscaya yang
berarti angin.
Setelah
seminggu lamanya Brahmana Raddi terus menerus menerima sasmita dari
bintang-bintang, menghadaplah ia kepada Prabu Selacala. Sang brahmana
menyarankan kepada sang raja, agar berkenan memakai dan mengundangkan
penggunaan perhitungan hari yang berjumlah lima dan tujuh tadi beserta
perhitungan pawukon. Kesemuanya tadi diharapkan untuk menjadi peringatan.
Setelah didapat kesepakatan dengan raja, Brahmana Raddi muksa kembali ke
kahyangan. Kembali dalam wujud dan nama semula, yalah Hyang Batara Surya.
Konon
setelah kepergian Brahmana Raddi, Resi Buddalah yang menggantikannya menjabat
brahmana di Gilingwesi. Sejak di Andongdadapan Resi Budda telah melaksanakan
segala perintah Brahmana Raddi. Antara lain menyebar luaskan penggunaan hari
yang berjumlah lima, yalah : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon beserta hitungan
masa Prawa sebagai pengganti masa Pali-wara Hindu. Demikian pula telah disebar
luaskan penggunaan panata bulan yang tigapuluh jumlahnya beserta rangkapan
kelengkapannya. Adapun pemakaian hari yang berjumlah tujuh itu tidak mengalami
perubahan. Tetap melestarikan seperti sediakala, umpamanya:
1.
Radite. Radite adalah nama Prabu
Watugunung ketika menjadi siswa (puruhita) pada Brahmana Raddi.
2.
Soma. Soma adalah nama permaisuri Prabu
Palindriya yang pertama.
3.
Anggara, Sukra. Anggara dan Sukra,
kedua-duanya putra Dewi Soma dengan Prabu Palindriya.
4.
Wrehaspati. Pada waktu Prabu Palindriya
masih menjadi pandita, namanya wrahaspati.
5.
Niscaya. Niscaya adalah putera Dewi Soma
yang bersuamikan Raden Radite (Prabu Selacala). Konon Prabu Selacala tidak
berkeberatan mengakui anaknya, jika terakhir seorang laki-laki. Setelah lahir
laki-laki, dinamakan Raden Niscaya. Akan tetapi lama-kelamaan tampak wujudnya
yang asli yalah perempuan. Selanjutnya, namanya diganti dengan Dewi Tumpak.
Sejak itu hari Niscaya diganti dengan nama Dewi Tumpak dan segera duimumkan
kepada khalayak ramai.
Akhirnya
ketujuh hari tersebut, nama-nama adalah :
1.
Radite,
2.
Soma,
3.
Anggara,
4.
Budda,
5.
Wrahaspati,
6.
Sukra dan
7.
Tumpak.
Setelah
penggantian terjadi Resi Budda berkenan menambah rangkapan hari sebagai tanda
adanya pangapesan (bencana, halangan, aral dan sebagainya). Sedangkan
nama para putra yang lahir dari Resi Anggara dan Resi Sukra yang dipergunakan.
Selanjutnya dipakai sebagai rangkaian hari dan dinamakan hari naas
(paringkelan), yalah :
1.
Raden Aryang,
2.
Raden Wurungkung,
3.
Raden Paning-ron,
4.
Raden Owas,
5.
Raden Wewulu,
6.
Dewi Tungle.
Keenam-nya
putera Resi Budda. Seterusnya dibuat juga perhitungan hari-hari baik dan tidak
baik sebagai kelengkapan- prabot pawukon dan dinamakan pandangon.
Nama-nama
yang dicantumkan, mirip nama Resi Anggara dan Resi Sukra. Mereka adalah :
1.
Raden Dungu,
2.
Raden Jagur,
3.
Raden Gigis,
4.
Raden Kerangan,
5.
Raden Nohan,
6.
Raden Wogan,
7.
Dewi Tulus,
8.
Raden Wurung,
9.
Raden Dadi.
Setelah
tersusun, Resi Budda menghadap Sang Prabu Watugunung, dan menyerahkannya.
Selanjutnya oleh Prabu Watugunung hari perhitungan baik dan buruk untuk
kelengkapan pawukon yang dinamakan padangon tadi disebar luaskan kepada para
kawula praja.
Demikianlah
asal mula masyarakat Tanah Jawa mempergunakan hari pasaran lima, sebagai ganti
hari padewan yang juga lima jumlahnya. Seterusnya dimulailah penggunaan hari
sejumlah tujuh, paringkelan dan pandangon, pawukon dan palintangan. Sebaliknya
cara melakukan upacara dan sesaji masih memakai adat dan tatacara Agama Budha.
Dalam
tahun Istrimuka suryasangkala 621, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Janma Sinembah ing Anggas,
tahun candrasangkala 640, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Tanpa Warna Angrasa kira-kira
bertepatan dengan masa Sitra, pada suatu ketika Hyang Narada beserta para dewa
lainnya turun ke mertya-pada menemui Raja Pandita Parasa di Negara Astina untuk
menyampaikan amanat Sang Hyang Girinata. Berkatalah Hyang Narada kepada Raja
Pandita Parasara, “Kaki Parasa. Atas kehendak Sang Hyang Girinata kaki diangkat
sebagai ratu binatara di Negara Astina dan sejajar dengan Negara Wirata. Wahai
Kaki Prabu, nama-mu sekarang Prabu Dwi Pakeswara.”
Setelah
menyampaikan amanat Hyang Girinata, Hyang Narada beserta para dewa lainnya
kembali ke kahyangan. Wadyabala dan kawula Astina yang mendengar bahwa Sang
Parasara telah diangkat sebagai Prabu Binatara dengan nama Dwipakeswara, amat
bersukacita. Sedangkan Prabu Binatara Dwipakeswara berkenan mengangkat beberapa
anggota keluarga, antara lain Maharsindra Dewa dijadikan seorang brahmana.
Adapun Wasi Jawalagni diangkat sebagai patih dan bertindak sekaligus sebagai
sesepuh (tuwanggana). Patih-jawi diberikan kepada Sang Wasi Duma. Wiku Salya
menjadi jaksa.
Bertepatan
masa Srawana, Prabu Binatara Dwipakeswara berkenan merakit tata perjalanan masa
yang jumlahnya duabelas yang dinamakan masa Purwa. Perhitungannya tidak
disandarkan dasar dirga, seperti halnya perilaku perhitungan untuk masa Pali
atau masa Prawa, tetapi perjalanan dan perhitungan serta nama-nama tahun masih
mempergunakan dasar-dasar paliwarsa atau prawawarsa, dan masih ditambah
duabelas masa lagi yang disebut Purwawisa sebagai kelengkapan untuk perhitungan
tahun Pali dan Prawa.
Nama-nama
paliwarsa dalam pengertian Hindu ialah :
1.
Sambrama,
2.
Biswawisu,
3.
Kalayudi,
4.
Kalakanda,
5.
Rahutri,
6.
Dumdumi,
7.
Triyoddari,
8.
Tisimuka,
9.
Dinakara,
10.
Sujarha,
11.
Saddamuku,
12.
Saddakasadda,
13.
Jagalogena,
14.
Kilaka,
15.
Prapawa,
16.
Iwa,
17.
Cukila,
18.
Pramududa,
19.
Prasudpadi,
20.
Anggila,
21.
Istrimuka,
22.
Prawa,
23.
Ipa,
24.
Tadu,
25.
Iswara,
26.
Wakdaniya,
27.
Pramadi,
28.
Wikrama,
29.
Wila,
30.
Citrapanu,
31.
Supanu,
32.
Taruna,
33.
Partipa,
34.
Wiya,
35.
Sarwasiti,
36.
Sarwwadari,
37.
Wirodi,
38.
Wikuraddi,
39.
Kareha,
40.
Santena,
41.
Wijaya.
42.
Jayaha,
43.
Manmata,
44.
Tukmuti,
45.
Wiyolambi,
46.
Wulambi,
47.
Wikari,
48.
Sarwwari,
49.
Pilapawa,
50.
Subakartti,
51.
Sabakartti,
52.
Awiya,
53.
Anandu,
54.
Rancaha,
55.
Wingsala,
56.
Nala,
57.
Pilawangga,
58.
Sahumiya,
59.
Saddaruna,
60.
Rudraksa,
semuanya
didasarkan perhitungan dengan surya (jalannya matahari).
Adapun
ciptaan Brahmana Raddi, Padrawarsa terdiri dari :
1.
Kanika,
2.
Yama,
3.
Pratiwi,
4.
Suman,
5.
Brahma,
6.
Uma,
7.
Endra,
8.
Sri,
9.
Iswara,
10.
Pramana,
11.
Wisesa,
12.
Esa,
hitungannya
atas dasar masa surya dan berlaku di Negara Gilingwesi, (masih dipergunakan di
daerah Jawa Barat).
Ciptaan
Prabu Dwipakeswara, yang termasuk dalam golongan masa Purwwa yalah :
1.
Pratiwi,
2.
Prayana,
3.
Brahma,
4.
Angga,
5.
Bayu,
6.
Yuma,
7.
Sri,
8.
Kala,
9.
Marugga,
10.
Garuna,
11.
Baruna,
12.
Kirana.
Adapun
nama-nama yang terdapat dalam masa Purwa, masih memakai seperti yang tercantum
dalam masa Paliwara, yalah :
1.
Masa Kartika, terdapat 31 hari dinamakan
Kasa.
2.
Masa Pusa, terdapat 30 hari dinamakan
Karo.
3.
Masa Manggasri, terdapat 30 hari
dinamakan Katiga.
4.
Masa Sitra, terdapat 31 hari dinamakan
Kapat.
5.
Masa Manggakala, terdapat 30 hari
dinamakan Kalima.
6.
Masa Naya, terdapat 31 hari dinamakan
Kanem.
7.
Masa Palguna, terdapat 31 hari dinamakan
Kapitu.
8.
Masa Wisaka, terdapat 30 hari dinamakan
Kawolu.
9.
Masa Jita, terdapat 30 hari dinamakan
Kasadasa.
11.
Masa Padrawana, terdapat 30 hari
dinamakan Dasta.
12.
Masa Asuji, terdapat 30/31 hari
dinamakan Sadda.
Konon masa Paliwara
tadi segera diundangkan ke seluruh Negeri Astina, dan masyarakat
mempergunakannya sebagai dasar-dasar perhitungan masa. Sedangkan di Negeri
Wirata, masih berlaku hitungan dengan masa Paliwarsa. Para penghulu agama
Brahmalah yang dibebani dan diserahi pelaksanaan hitungannya. Pada jaman
pemerintahan Prabu Kresna Dwipayana, Negara Astina lazim memakai hitungan
Prawawarsa. Sebaliknya selain hitungan masa Prawawarsa, hitungan lainnya masih
dipakai dan diperingati juga.
Jaman
Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya, yang dipergunakan yalah masa
Prawawarsa. Lain-lainnya tak diperingati (dipakai) lagi, kecuali dipergunakan
di kalangan para pujangga dan para brahmana saja.
Konon
pada tahun suryasangkala 1236, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Rasaning
Satriya Nembah Gusti, Candrasangkala 1338, di tandai dengan
sengkalan yang berbunyi Pandita Sri katon Tunggal,
Majapahit jatuh oleh putra Prabu Brawijaya ke V sendiri, yalah Raden Patah.
Oleh para wali Raden Patah diangkat sebagai Raja Islam di Demak, dan segala
perhitungan yang mengenai hari, masa, tahun dan lain-lainnya diganti semua
nama-namanya dengan bahasa Arab.
Pada
kenyataannya tahun Arab hanya delapan jumlahnya. Dasar perhitungannya
dikalikan, dan hasil perkalian tadi, namanya Windu.
Hari
pasaran yang dipakai adalah: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon, Paringkelan,
padangon, sengkan turunan, dan wuku tetap dipergunakan. Doa-doa memakai bahasa
Arab, demikian pula ketujuh hari tersebut nama-namanya pun dalam bahasa Arab.
Hari-hari
yang diganti memakai bahasa Arab yaitu :
1.
Dite, diganti nama Awal atau Akad yang
berarti permulaan atau awal.
2.
Soma, diganti Isnen atau Senen, Senin
(Ahwan) yang berarti yang kedua.
3.
Anggara, diganti nama Salasa atau Jabari
yang berarti yang ke-tiga.
4.
Budda, diganti nama Arba, Rabu atau
Dibari yang berarti yang keempat.
5.
Respati, diganti nama Munisa atau Kamis
yang berarti yang kelima.
6.
Sukra, diganti nama Ngurabah atau
Jumuah, yang berarti berkumpul atau kumpulan.
7.
Tumpak, diganti Sabad, Sabtu atau Sayari
yang berarti terakhir.
Perjalanan matahari dihitung dengan dasar
Prawawarsa, yaitu perhitungan Sang Hyang Surya. Adapun lama hari dihitung
memakai dasar dirga Paliwarsa, dan tidak berdasarkan Purwawarsa sebab dirasa
kurang cocok.
Bulan, masa dan umurnya.
1.
Masa Kasa, berumur 41 hari.
2.
Masa Karo, berumur 23 hari.
3.
Masa Katiga, berumur 24 hari.
4.
Masa kapat, berumur 25 hari.
5.
Masa Kalima, berumur 27 hari.
6.
Masa kanem, berumur 43 hari.
7.
Masa Kapitu, berumur 43 hari.
9.
Masa Kasanga, berumur 25 hari.
10.
Masa Kasapuluh, berumur 24 hari.
11.
Masa Dasta, berumur 23 hari.
12.
Masa Sadda, berumur 41 hari;
Pada waktu itu yang
dipergunakan hanya berdasarkan panata-mangsa, sedangkan perhitungan tahun
(warga) sudah tidak dilanjutkan lagi. Dengan demikian ada 60 nama untuk jenis
Paliwarsa, 12 nama untuk Pranawarsa, dan 12 nama untuk Purwawarsa yang tidak
dipergunakan lagi.
Kalaziman
pada waktu itu mempergunakan nama sesuai tata dan cara Arab, untuk
candrasangkala, seperti yang tersebut di di bawah ini.
1.
Muharam atau Sura, berumur 30 hari
(Ijabah, Asan-Usen).
2.
Sapar, berumur 29 hari.
3.
Rabingulawal (Mulud), berumur 30 hari.
Yalah hari kelahiran-Kanjeng Nabi.
4.
Rabingulakir, berumur 29 hari.
5.
Jumadilawal, berumur 30 hari.
6.
Jumadilakir berumur 29 hari.
7.
Rajab, berumur 30 hari. Hari mik'rad
Kangjeng Nabi.
8.
Arwah (Ruwah, atau Sakban) berumur 29
hari, Kalkahosar dan kubur.
9.
Ramelan (Puwasa), berumur 30 hari.
Rialat.
10.
Syawal, berumur 29 hari. Idhul Fitri.
ari adi.
11.
Dulkaidah (Apit, Sela), berumur 30
hari.
12.
Dulhijan (Besar), berumur 30 hari.
Hari korban (kekah), haji.
Setiap
12 tahun telah berjalan, dinamakan satu tahun perjalanan candrasangkala.
Adapun
nama-nama tahun bagi candra ada delapan, ialah :
l.
Alip,
2.
Ehe,
3.
Jimawal,
4.
Je,
5.
Dal,
6.
Be.
7.
Wawu dan
8.
Jimakir.
Setiap
kali dalam perjalanan keliling kedelapan tahun tersebut dinamakan satu windu.
Windu
ada empat macam. Nama-namanya menurut bahasa Jawa, ialah :
1.
Adi. Windu Adi berarti windu yang baik
dan banyak mengandung keelokan.
2.
Kuntara. Windu Kuntara berarti windu
yang banyak mengandung bencana.
3.
Sengara (Sanghara). Windu Sengara atau
Sanghara berarti windu yang banyak mengalami banjir (air bah).
4.
Sancaya. Windu Sancaya berarti windu
yang banyak memperlihatkan kegiatan pembangunan.
Candrasangkala
dengan nama-nama bahasa Arab, lazim dipergunakan untuk menandai setiap
pergantian masa.
Penataan
windu dimulai setelah jaman Majapahit, bertepatan pada tahun candrasangkala
1338. Untuk mendapatkan atau memperhitungkan windu bertepatan dengan
perhitungan tahun (warsa), seyogyanya haruslah angka-angka tahun kalau dibagi
32 akan mendapatkan hasil 41. Jika perjalanan windu lebih 16 tahun,
dijadikanlah 2 windu.
Itulah
sebabnya dimulainya tahun candrasangkala 1339, dihitung tahun Alip, dan
windunya dimulai dengan windu Sengara (angka 3).
Konon
para waliyullah yang bertugas sebagai paranpara Kerajaan Demak berkenan
menciptakan pula hitungan dan penjelasan untuk hari-hari naas dan baik, serta
watak manusia sesuai hari kelahiran masing-masing.
Demikian pula bagi setiap anak yang
dilahirkan dihari-hari tersebut di bawah ini mempunyai watak-watak antara lain
:
1.
Akad.
Akad,
berarti pura-pura. Artinya anak yang dilahirkan pada hari Akad mempunyai watak
suka berpura-pura. Apa yang ada dalam hatinya tidak cocok dengan apa yang
dilahirkannya atau dilaksanakannya.
2.
Senen
Senen,
berarti serba bagus dan apik. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Senen
mempunyai watak gemar akan segala sesuatunya serba baik dan bagus.
3.
Slasa, Selasa
Slasa
atau Selasa, berarti curitaga atau penuh kekawatiran. Artinya anak yang
dilahirkan pada hari Selasa mempunyai watak tidak gampang mempercayai omongan
orang lain.
4.
Rebo, Rabu.
Rebu
atau Rabu, berarti mampu. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Rabu
mempunyai watak mampu dalam segala hal. Dan menghendaki apa yang dikerjakannya
harus selalu baik dan pantas.
5.
Kemis, atau Kamis
Kemis
atau Kamis, berarti penuh perhatian. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari
Kamis mempunyai watak penuh perhitungan dalam melakukan atau
mempertanggungjawabkan pekerjaannya.
6.
Jumuah atau Jum’at
Jumuah
atau Jum’at, berarti suci. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Jum’at
mempunyai watak dalam segala hal berharap sempurna dan tertib.
7.
Sabtu
Sabtu,
berarti pandai memuji orang. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Saptu
mempunyai watak suka atau mempunyai kebiasaan memuji-muji orang lain dan suka
membual.
Watak-watak
dari kelima hari pasaran sebagai berikut di bawah ini :
1.
Kliwon
Mereka
yang dilahirkan pada hari pasaran Kliwon mempunyai sifat micara. Atinya, pandai
berbahasa dan halus kata-katanya.
2.
Legi
Mereka
yang dilahirkan pada hari pasaran Legi, mempunyai sifat mengaku. Artinya, murah
berjanji dan sanggup akan segala hal.
3.
Paing
Mereka
yang dilahirkan pada hari pasaran paing, mempunyai sifat melikan. Artinya,
selalu ingin memiliki segala sesuatu yang terlihat.
4.
Pon
Mereka
yang dilahirkan pada hari pasaran Pon, mempunyai sifat pamer. Artinya, senang
menonjol-nonjolkan kekayaannya.
5.
Wage
Mereka
yang dilahirkan pada hari pasaran Wage, mempunyai sifat malu. Artinya, kaku
hatinya.
Sifat
dan watak masa Surya.
1.
Kasa
Masa
Kasa mempunyai watak belas kasihan.
Lambang
dari masa Kasa adalah, “Sotya murca ing embanan” (Permata lepas dari
ikatannya). Masa Kasa datang bertepatan dengan daun-daun pepohonan banyak yang
berguguran.
2.
Karo
Masa
Karo mempunyai watak ceroboh.
Lambang
dari masa Karo adalah, “Bantala rengka” (Tanah lekang). Masa Karo datang
bertepatan dengan tanah-tanah banyak yang lekang.
3.
Katiga
Masa
Katiga mempunyai watak kikir atau lokek. Lambang dari masa Katiga adalah “Suta
manut ing bapa” (Anak menurut atau patuh pada orang tuanya). Masa Katiga
datang bertepatan dengan tumbuhnya lung.
4.
Kapat
Masa
Kapat mempunyai watak suka berhias diri atau selalu ingin tampak bersih dan
apik.
Lambang
dari masa Kapat adalah, “Waspa Kumambang jroning kalbu” (Air mata
menggenang dalam hati). Masa Kapat datang bertepatan dengan keadaan udara yang
lembab, dan panas.
5.
Kalima
Masa
Kalima mempunyai watak gelatak (juweh). Lambang dari masa Kalima adalah, “Pencuran
mas sumawur ing jagad” (Pancuran emas, merata di bumi). Masa Kalima datang bertepatan
dengan awal jatuhnya hujan.
6.
Kanem
Masa
Kanem mempunyai watak cerdas, pandai, Lambang dari masa Kanem adalah , “Rasa
mulya kasucian” (Rasa mulia dan berhati suci). Masa Kanem datang bertepatan
musim buah-buahan.
7.
Kapitu
Masa
Kapitu mempunyai watak ringan tangan (suka menempeleng). Lambang dari masa
Kapitu adalah, “Wisata kentir ing maruta” (Racun tertiup angin). Masa
Kapitu datang bertepatan banyaknya penyakit.
8.
Kawolu
Masa
Kawolu rnempunyai watak madya (tidak berlebih-lebihan,sederhana).
Lembang
dari masa Kawolu adalah, “Anjrah jroning kayum” (Berkembang di lubuk
hati). Masa Kawolu datang bertepanan dengan masa berkembang biaknya hewan.
9.
Kasanga
Masa
Kasanga mempunyai watak berabah (ramai). Lembang dari masa Kasanga adalah, “Wakaring
wacana mulao” Berucapkan kata-kata yang bijaksana. Masa Kasanga datang
benepatan dengan musim riang-riang (gangsir) mulai mendesing-desing.
10.
Kasadasa
Masa
Kasadasa mempunyai watak mudah tersinggung. Lambang dari masa Kesadasa adalah,
“Gedlong minep jroning kalbu” (Tampak sebuah gedong tertutup). Masa
Kasadasa datang bertepatan dengan waktu hewan-hewan sedang mengandung.
11.
Dasta
Masa
Dasta mempunyai watak suka mengambil barang yang bukan miliknya.
Lambang
dari masa Dasta adalah “Sotya sinarawadi” (Mempersekutukan kekayaan).
Masa Dasta datang bertepatan dengan menetasnya telur-telur yang dierami
burung-burung.
12.
Sadda
Masa
Sadda mempunyai watak bersahaja. Lambang dari masa Sadda adalah, “Tirta sah
sing sasana”. (Air telah mengalir dari sumbernya. Masa Sadda datang
bertepatan dengan musim dingin (padiding).
Watak-watak hari Padewan yang
dipergunakan sebagai rangkapan Pandangon untuk wuku.
1.
Sri
Watak
Dewi Sri adalah besar rasa belas kasihannya. Pada hari padewan Sri, Sebaiknya
dipergunakan untuk memulai menanam padi dan kelapa.
2.
Endra
Watak
Dewa Endra adalah sombong, angkuh, teliti dan berhati-hati.
Pada
hari padewan Endra seyogyanya dipergunakan untuk menuntut ilmu.
3.
Guru
Watak
Dewa Guru senang memberikan anugerah dan mencoba diri seseorang.
Pada
hari padewan Guru sebaiknya menjalankan sarana sesaji dengan memasang
tumbal-tumbal (penolak bala).
4.
Yama
Watak
Dewa Yama adalah pemaaf dan bijaksana.
Pada
hari padewa Yama sebaiknya dipergunakan untuk berdagang melalui lautan
(berlayar).
5.
Rudra
Watak
Dewa Rudra adalah bijaksana dan pemurah hati. Pada hari padewan Rudra sebaiknya
dipergunakan untuk membuat sumur.
6.
Brama
Watak
Dewa Brama adalah pemarah, tetapi segala perintahnya mengandung kebijaksanaan.
Pada
hari padewan Brama sebaiknya dipergunakan untuk membuka hutan, dan mengerjakan
sawah (menggaru sawah dan membajak).
7.
Kala
Watak
Dewa Kala adalah tidak bisa dipercaya dan suka berbohong. Pada hari padewan
Kala sebaiknya dipergunakan untuk membuat larangan dan undang-undang (pepacak).
8.
Uma
Watak
Dewi Uma adalah suka menolong orang yang kesusahan. Pada hari padewan Uma
adalah baik sekali dipergunakan untuk membuat pagar rumah dan pekarangan
(halaman).
Makna
dari hari pengapesan dan paringkelan.
1.
Tungle
Tungle
mempunyai makna naas bagi daun-daunan. Mempunyai watak gampang berjanji, tetapi
suka berdusta. Pakangsal mendengarkan, dan larangannya jangan menanam dan
mencari (memetik) dedaunan.
2.
Aryang
Aryang
mempunyai makna naas bagi manusia. Mempunyai watak suka lupa, pakangsal berbuat
dusta dan menipu. Larangannya jangan mendirikan rumah dan nikah.
3.
Warungkung
Warungkung
mempunyai makna naas bagi hewan-hewan. Mempunyai watak tidak atau kurang
waspada yang akhirnya membawa bencana. Pakangsal, ajag (anjing hutan)
berkeliling, dan larangannya jangan membuka hutan.
4.
Paningron
Paningron
mempunyai makna naas bagi segala jenis ikan di air. Mempunyai watak gampang
tertipu, tetapi berwatak suka memiliki yang bukan haknya (melikan). Pakangsal,
berbuat atau suka mencelakakan orang lain. Larangannya memelihara ikan.
5.
Owas
Owas
mempunyai makna naas bagi segala jenis burung. Mempunyai watak sombong dan
tinggi hati. Pakangsalnya adalah memikat, Larangannya membuat kurungan.
6.
Mawulu
Mawulu
mempunyai makna naas bagi semua benih. Mempunyai watak mempunyai syak wasangka
dan suka memperkira-kirakan. Pakangsal mengolah sawah, dan yang menjadi
larangannya menebar benih.
Konon
para wali sejak jaman Demak banyak menciptakan hari-hari yang dilengkapi
watak-wataknya, demikian selanjutnya pada jaman Mataram sampai sekarang masih
pula dilestarikan penggunaannya. Untuk melihat atau membaca hari baik atau
kurang baik, dikenal istilah sawanggita (Budda). Pada jaman kewalian
timbullah istilah pasangatan sebagai pengganti sawanggita tadi.
Selanjutnya disusul adanya perhitungan perihal apa yang digolongkan karam,
pancasuda, sangaran, nahas (naas), bangas, dan lain sebagainya.
Juga
perhitungan-perhitungan secara teliti untuk tahun-tahun candrasangkala dalam
setiap tahunnya tak lupa diciptakan. Termasuk antara lain: bincilan, panagan, parijalan,
jatingarang dan lain sebagainya.
Dalam
tulisan ini hanya dibatasi sekedar uraian yang menerangkan hal-hal tersebut di
atas tadi. Sebaliknya bagi yang ingin mendalaminya kami persilakan untuk
membaca buku-buku perimbon, petangan (perhitungan) dan pasatowan yang di
dalamnya dengan lengkap akan dijelaskan perihal petangan dan cara-cara
penggunaannya. Demikian pula perhitungan mengenai papan (rumah, tanah, pindah,
dan lain sebagainya) dan mencari jodoh atau melaksanakan perkawinan.
Banyak yang salahnya
BalasHapus