Rabu, 09 Januari 2013

Karapan Sapi, Madura

Bagi masyarakat Madura, sapi tak hanya memiliki fungsi ekonomi. Tapi prestis dan status yang jadi kebanggaan di desanya. Ludhy Cahyana menilik perhelatan khas Madura, kerapan sapi.
Penghujung Oktober sengatan matahari di atas langit Madura tak bersahabat. Deretan ladang garam putih mengkilap memantulkan panas, dan kincir pemompa air laut untuk mengairi ladang garam berputar malas. Musim hujan lamban datang, Madura kian panas.
Sejatinya diakhir Oktober itu justru perdebatan soal kerapan sapi lebih panas dari musim kemarau yang kelewat panjang. Surat edaran Gubernur Nomor 1/Inst/2012/ Tanggal 1 Mei 2012 Tentang Pelaksanaan Kerapan Sapi Tanpa Kekerasan — yang didukung para ulama -, melarang kerapan sapi alias adu cepat sapi tanpa kekerasan. “Kerapan sapi hendak dikembalikan ke tradisi awal tanpa kekerasan,” kata budayawan sekaligus Wakil Bupati Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirjo.


Kerapan sapi mulai ada di Madura sejak abad 13. Menurut Kadarisman, Pangeran Katandur seorang bangsawan dari Pulau Sapudi, Sumenep, terbilang orang yang pertama kali mempopulerkan kerapan sapi. Ketekunan sang pangeran rupanya diamati oleh rakyatnya. Mereka meniru membajak sawah dengan memanfaatkan sapi. Hasilnya tanah di Pulau Sapudi yang gersang menjadi subur, hasil panen melimpah. Pangeran Katandur lantas melombakan sapi-sapi pembajak itu untuk adu lari, sebagai rasa syukur hasil panen yang melimpah dan menyenangkan rakyatnya.


Lantas digantilah pembajak yang berat dengan bambu yang ringan, agar sapi bisa melesat cepat. Kerapan sapi lalu menjadi semacam pesta rakyat. Awalnya tak ada kekerasan, sapi hanya dicambuk dengan sepotong kayu atau bambu. Ketika kerapan sapi mulai dipertandingkan antar kampung hingga Kabupaten dalam kompetisi Piala Presiden, mulailah budaya kekerasan menimpa sapi-sapi jantan itu.

 Tokang tongko alias joki biasanya menggunakan rekkeng atau tongkat kayu berpaku untuk memukul pantat sapi agar berlari lebih kencang. “Luka pada sapi diberi spiritus, ekornya ditusuk peniti, bahkan matanya diberi balsam, agar sapi menjadi panik dan berlari sekencang-kencangnya” kata Mat Halil penggemar kerapan sapi. Inilah yang membuat para ulama di Madura prihatin dengan penyiksaan ternak, meskipun masyarakat menganggapnya tradisi.

Walhasil, paguyuban pemilik sapi kerap (sapi balap) terpecah. Pemilik sapi kerap di Kabupaten Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan, mematuhi Surat Edaran Gubernur agar tak ada lagi kekerasan pada sapi kerap, hanya Sampang yang menolak. “Kami tetap menghelat kerapan sapi dengan kekerasan karena menghormati peserta yang telah melewati seleksi, kata Ketua Paguyuban Kerapan Sapi, Pamekasan, Suparto. Pada 21 Oktober, kerapan sapi Piala Presiden dihelat dalam dua versi - di Bangkalan tanpa kekerasan dan di Sampang dengan kekerasan- namun pada 2013 nanti Piala Presiden dipastikan dijadikan satu, tanpa kekerasan.

SAPI Dl MATA MASYARAKAT MADURA
“Orang Madura boleh belum mandi, tapi sapi harus mandi dulu,” begitu kata budayawan Kadarisman Sastrodiwirjo. Itulah cinta masyarakat Madura kepada sapi-sapinya. Maka sapi Madura dengan mudah dikenali, dari warna kulitnya yang coklat mengkilap, sehat dan tentu saja bersih.
Sapi memiliki nilai ekonomi, karena bisa membantu bercocok tanam atau dijual dagingnya. “Karena cintanya pada sapi, kandang sapi zaman dulu berada di dapur yang luas,” imbuh Kadarisman. Gunanya, agar asap dari kayu bakar menghangatkan sapi, sekaligus mengusir nyamuk yang menggigit sapi.
Sejak kecil sapi-sapi calon juara itu dilatih. Mereka dimandikan di pagi hari, dan dikeringkan dengan posisi kaki depan berdiri di atas pohon tumbang. “Latihan ini menghasilkan sapi yang tegap, yang selalu memandang ke depan,” papar Kadarisman. Sebab, orang Madura meyakini sapi menunduk adalah sapi yang lemah.
Agar staminanya kuat, sapi diberi ramuan jahe, merica, dan berbagai rempah yang dicampur sekitar 30 butir telur. Telur itu diminumkan dengan bambu ke mulut sapi. Sapi itu juga dipijat dengan balsam atau remason agar otot-ototnya tetap lentur dan memiliki tubuh proporsional. Sapi kerap umumnya kekar dan tegap.
Sapi-sapi kerap yang masih umur setahun-dua tahun dihargai Rp 90 juta. Harganya melambung hingga Rp 300 juta bila sudah bisa berlomba.

Tahukah Anda?
Pengertian kerapan merujuk pada adu sapi yang memakai kaleles - yang terbuat dari bambu yang ringan. Fungsi kaleles seperti sais atau tempat joki (tokang tongko) menghela sapi. Untuk mentautkan sapi menjadi satu pasang digunakan pangonong pada leher sapi.
Ada beberapa kerapan sesuai kebutuhan acara, misalnya kerrap kei (kerapan kecil), kerrap raja (kerapan besar), kerrap onjangan (kerapan undangan), kerrap jar-ajaran (kerapan latihan).
Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegak, kokoh, berekor panjang, dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa.
Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu.
Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu).

Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan tokang tongko (joki), tokang tambeng (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), tokang gettak (penggertak sapi agar sapi berlari cepat), tokang gubra (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak sorai di tepi lapangan), tokang ngeba tali (pembawa tali kendali sapi dari start sampai finish), tokang nyandak (orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), dan tokang tonja (orang yang bertugas menuntun sapi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar