KRATON JAWA - Pendahuluan
S
|
elama
ini kraton memiliki fungsi yang strategis dan penting dalam pembangunan
karakter bangsa dan juga menjaga jati diri budaya luhur bangsa kita. Kota
Yogyakarta dan Solo yang bersejarah di Jawa Tengah, merupakan dua kota yang
sangat penting peranannya dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Dua Kraton
utama, Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat ditambah dua keraton
lainnya, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman, merupakan contoh terbaik dari peninggalan
sejarah bangsa, yang kita banggakan untuk dapat menjaga kelestarian budaya
bangsa yang adiluhur tersebut.
Keempat
kraton tersebut menampilkan kehidupan budaya Jawa, yang juga mengetengahkan sejarah
dan tradisi budaya yang masih tetap terpelihara. Isi dari blog ini, hanyalah
copy-paste dari buku Kratons of Java yang didanai oleh The American Express
Foundation.
Kerajaan
Mataram
Pada
abad ke-16, sebelum Belanda menjajah Hindia Belanda, Nasantara terdiri atcis beberapa
kerajaan yang saling bersaing yang pada waktu tidak bersamaan menguasai Pulau Jawa.
Kerajaan Jawa yang besar dan terahkir, dikenal dengan nama Mataram II, didirikan
pada tahw 1587 oleh Pangeran Senopati. Pada puncak kejayaannya, pengaruh kerajaan
ini tidak saja tersebar ke luar Jawa, tetapi sampai ke daerah yang sekarang bernama
Malaysia.
Pada zaman pemerintahan
Raja Amangkurat II, Kerajaan Mataram, yang pada mulanya terletak di Kota Gede, di
pinggiran yang sekarang bernama kota Yogyakarta, berpindah tempat beberapa kali
antara tahun 1587 dan 1680. Raja Amangkurat II inilah yang mendirikan kraton di
Kartasura, dekat kota yang sekarang bernama Surakarta (Solo). Pada zaman pemerintahan
raja ini hubungan antara kraton dan pemerintahan kolonial Belanda memburuk. Ketika
Amangkurat III menggantikan ayahnya, Belanda membantu pangeran saingannya untuk
dijadikan raja baru yang bergelar Sunan Pakubuwono I.
Penobatan Pakubuwono I,
yang disusul oleh serangkaian perang perebutan kekuasaan akhirnya berkat bantuan
Belanda berlanjut dengan dinobatkannya cucu Pakubuwono I menjadi Pakubuwono II.
Daerah Pakubuwono II di Kartasura kemudian diserang oleh saingannya raja dari
Pulau Madura, sebuah pulau yang terletak disebelah pantai timur Laut Jawa. Sebagai
balasan atas bantuan yang diberikan oleh Belanda dalam menahan serangan ini,
Pakubuwono II dipaksa memberikan bagian penting dari wilayah kekuasaannya kepada
pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, pada tahun 1745, Pakubuwono II pindah
dan membangun istana baru di Surakarta, yang bernama Surakarta Hadiningrat, kraton
utama di di Solo.
Perpecahan di Kerajaan Mataram
Perebutan
kekuasaan di dinasti Mataram terjadi lagi, kali ini, antara Pakubuwono II dan saudara
tirinya, Pangeran Mangkubumi. Ketika Pakubuwono II digantikan oleh putranya, Pakubuwono
III, Mangkubumi juga mengangkat dirinya sebagai raja dan mendirikan pemerintahan
tandingan di Yogyakarta. Karena kekuasaan Pangeran Mangkubumi bertambah besar,
Belanda turun tangan menengahi pertikaian itu dengan jalan mengadakan Perjanjian
Gijanti. Isinya, Kerqjaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kesunanan
Surakarta dibawah pimpinan Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta dibawah
Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I. Perjanjian Gijanti ditandatangani
oleh kedua raja ini pada tahun 1755 dan pada tahun yang sama konstruksi kraton
utama Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat, dibangun oleh Hamengkubuwono I.
Pemberontakan kesunanan
di Surakarta masih belum berakhir. Raden Mas Said, seorang pangeran lainnya
yang merasa tidak puas, memisahkan diri dari kraton dan atas restu Sunan mendirikan
kerajaan yang merdeka di Surakarta. Dengan gelar Mangkunegoro I, Raden Mas Said
menjadi pemimpin kerajaan kedua di Surakarta dan pada tahun 1757 ia membangun istananya
sendiri bemama Puro Mangkunegaran.
Perpecahan
terakhir pada kerajaan Mataram terjadi dalam tahun 1818, yaitu pada masa
pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, yang hanya berlangsung selama empat
tahun. Seperti apa yang telah dilakukan Belanda, Gubemur Inggris Thomas Stamford
Raffles memanfaatkan pertikaian politik lainnya, yang kali ini terjadi di
Kraton Yogyakarta, dengan cara mendukung berdirinya kerajaan lain yang merdeka
di dalam kerajaan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma, paman Hamengkubuwono III
yang berkuasa, pada waktu itu, dinyatakan sebagai kepala pemerintahan baru,
yang berpusat di istana yang dibangun poda tahun 1818, yang letaknya hanya beberapa
kilometer dari Kraton Yogyakarta. Pangeran Natakusuma memakai gelar Paku Alam
I dan kratonnya dinamakan Puro Pakualaman.
Pusat alam semesta
Masyarakat
Jawa percaya bahwa kekuasaan para pemimpin dinasti Jawa merupakan anugerah dari
Tuhan. Raja dianggap sebagai pemimpin spiritual, politik dan sosial di kalangan
masyarakat Jawa, sedangkan kraton sebagai pusat simbolik dan fisik alam
semesta. Kehidupan setiap orang Jawa, dari kalangan petani sampai kalangan bangsawan
aristokrat, diatur dan diawasi oleh hak istimewa raja. Sejak didirikannya istana
Yogyakarta dan Surakarta, masyarakat Jawa secara keseluruhan dianggap sebagai perluasan
lingkungan kraton.
Gaya
arsitektur dan tata letak keempat kraton ini didasari oleh prinsip yang berakar
pada kosmologi Hindu-Jawa. Gunung yang keramat dan pusat alam semesta dilambangkan
dengan Pendopo (balai pertemuan) dan Taman Dalem. Rangkaian Bangunan dan halaman
yang terpencar dari pusat melambangkan daratan dan lautan. Berbagai bangunan dipisahkan
oleh dinding yang tinggi dan pintu gerbang simbolis yang bukan saja menjadi
lambang perbedaan tingkat dalam sistem kosmologi, tetapi juga berfungsi sebagai
penjaga yang memiliki kekuatan fisik dan batin. Pintu gerbang utara yang berada
di dua kraton utama menghadap ke gunung tempat tinggal para dewa, sedangkan
pintu gerbang selatan menghadap ke laut, kediaman mistik nenek moyang.
Dewi
Laut Selatan, Nyai Loro Kidul, yang menurut legenda berdiam di sebuah kerajaan
di dasar Samudera Hindia, telah lama menjalin hubungan yang erat dengan
kerajaan Jawa. Kedudukan sebagai raja secara tradisional dianugerahkan oleh
Nyai Loro Kidul, sedangkan izin dan restunya menjadi prasyarat untuk membangun
sebuah kraton.
Keempat
kraton tersebut mempunyai bentuk ciri arsitektur yang sama seperti yang tampak
pada Pendopo, Dalem, Keputren, Kesantrian, yang semuanya menjadi Dalem kraton. Di
sekeliling Taman Dalem dibangun kantor, kandang kuda, tempat tinggal para abdi dalem,
bengkel kerja, dan pemukiman para bangsawan yang kurang terkenal berserta keluarga
mereka. Seluruh komplek ini dikelilingi oleh dinding tembok yang kokoh bagaikan
benteng yang melindungi kedua kraton utama, yang jika dilihat dari dalam seperti
"kota tertutup".
Pelindung Kesenian dan Kebudayaan
Pada
saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, kesultanan Jawa menyerahkan kekuasaan politiknya
kepada pemerintah republik di Jakarta. Tanggung jawab dan beban mempertahankan keamanan
dilepaskan, agar dapat lebih memusatkan perhatian kepada kekayaan dan kehidupan
di dalam kraton, yaitu berupa masyarakat dan benda-benda kraton yang ditata secara
estetis guna pengembangan seni dan upacara kerajaan. Para seniman dan pengrajin
yang secara tradisional mendapat pengayoman dari kraton diberi kedudukan yang
lebih terhormat, sedangkan seni wayang, tari, musik, sastra dan kerajinan tangan
tradisional diperhalus dan diperindah. Dalam batas tembok masing-masing
masyarakat keempat kraton ini mengembangkan ciri khas tersendiri, misalnya yang
terlihat pada perbedaan busana, gaya pertunjukan, benda seni artifisial,
upacara-upacara kerajaan yang terperinci.
Masa Kini
Walaupun
kekuasaan dalam bidang politik berkurang, pengaruh kraton dalam tradisi dan budaya
tetap kuat dan berlangsung sampai sekarang. Pulau Jawa adalah pulau yang terpadat
penduduknya di Indonesia dan kebudayaan historis merupakan kebudayaan yang
paling berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia. Sampai sekarang pun dalam
lubuk sanubari masyarakat
Indonesia tradisi kraton tetap dihormati. Warga yang sekarang tinggal di
keempat kraton itu merupakan turunan langsung dari Pangeran Senopati,
pendiri dinasti Mataram. Di alam lingkungan tembok kraton ketaatan ritual dan
upacara kerajaan tetap dilaksanakan untuk menghormati kebiasaan dan tata cara tradisi
Jawa yang terus hidup berabad-abad lamanya.
Bersambung ke : Keraton Jawa 1
Bersambung ke : Keraton Jawa 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar