Hampir semua desa di Tapanuli Utara mengharap
ada anak desa tersebut menjadi pendeta, karena pendeta mereka anggap sebagai
suatu pekerjaan yang sangat mulia dan sangat dihormati semua masyarakat yang
mayoritas daerah itu penganut agama Nasrani.
Suatu ketika seorang Tuan Pendeta datang dari
Jerman untuk mengunjungi sebuah desa di daerah ini. Karena Sang tuan pendeta
dari Jerman mengetahui, bahwa hampir semua desa menyekolahkan minimal satu
orang menjadi pendeta. Maka Sang tuan pendeta bertanya.
“Sudah berapa orang dari desa ini menjadi
pendeta?”
Mendengar hal itu salah seorang tokoh
masyarakat menjawab, “Tuan pendeta, hingga saat ini belum ada pendeta dari desa
ini”.
“Bukankah semua desa di Tapanuli Utara ini
berlomba-lomba agar ada pendeta dari desa masing-masing”. “Betul Tuan Pendeta,
tapi sampai saat ini kami belum menemukan pelajar tukang berantem di desa ini?”
“Apa hubungannya tukang berantem dengan
pendeta?”.
“Begini Tuan Pendeta, di daerah ini, jika
anaknya pintar dan baik disuruh melanjutkan ke sekolah kedokteran, tehnik dan
lain-lain, tetapi jika tukang berantem baru disuruh ke sekolah pendeta”
“0... 0... 0, pantesan para pendeta sekarang
pada berantem melulu”.