Rabu, 21 Maret 2012

Serat Centhini


Serat Centhini

Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.

Serat Wulangreh


Serat Wulangreh


  1. Mingkar mingkuring angkara,
    Akarana karanan mardi siwi,
    Sinawung resmining kidung,
    Sinuba sinukarta,
    Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
    Kang tumrap neng tanah Jawa,
    Agama ageming aji.
    =
    Menahan diri dari nafsu angkara,
    karena berkenan mendidik putra
    disertai indahnya tembang,
    dihias penuh variasi,
    agar menjiwai tujuan ilmu luhur,
    yang berlaku di tanah Jawa (nusantara)
    agama sebagai “pakaian”nya perbuatan.
    -
    -
  2. Jinejer neng Wedatama
    Mrih tan kemba kembenganing pambudi
    Mangka nadyan tuwa pikun
    Yen tan mikani rasa,
    yekti sepi asepa lir sepah, samun,
    Samangsane pasamuan
    Gonyak ganyuk nglilingsemi.
    =
    Disajikan dalam serat Wedatama,
    agar jangan miskin pengetahuan
    walaupun tua pikun
    jika tidak memahami rasa (sirullah)
    niscaya sepi tanpa guna
    bagai ampas, percuma,
    pada tiap pertemuan
    sering bertindak ceroboh, memalukan.
    -
    -
  3. Nggugu karsaning priyangga,
    Nora nganggo peparah lamun angling,
    Lumuh ing ngaran balilu,
    Uger guru aleman,
    Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
    Sinamun ing samudana,
    Sesadon ingadu manis
    =
    Mengikuti kemauan sendiri,
    Bila berkata tanpa pertimbangan (asal bunyi),
    Tak mau dianggap bodoh,
    Asal gemar dipuji-puji.
    (sebaliknya) Ciri orang yang sudah cermat akan ilmu
    justru selalu merendah diri,
    selalu berprasangka baik.
    -
    -
  4. Si pengung nora nglegawa,
    Sangsayarda deniro cacariwis,
    Ngandhar-andhar angendhukur,
    Kandhane nora kaprah,
    saya elok alangka longkanganipun,
    Si wasis waskitha ngalah,
    Ngalingi marang si pingging.
    =
    Si dungu tidak menyadari,
    Bualannya semakin menjadi jadi,
    ngelantur bicara yang tidak-tidak,
    Bicaranya tidak masuk akal,
    makin aneh tak ada jedanya.
    Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,
    Menutupi aib si bodoh.
    -
    -
  5. Mangkono ngelmu kang nyata,
    Sanyatane mung weh reseping ati,
    Bungah ingaran cubluk,
    Sukeng tyas yen denina,
    Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
    Ugungan sadina dina
    Aja mangkono wong urip.
    =
    Demikianlah ilmu yang nyata,
    Senyatanya memberikan ketentraman hati,
    Gembira dibilang bodoh,
    Tetap gembira jika dihina
    Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
    Ingin dipuji setiap hari.
    Janganlah begitu caranya orang hidup.
    -
    -
  6. Urip sepisan rusak,
    Nora mulur nalare ting saluwir,
    Kadi ta guwa kang sirung,
    Sinerang ing maruta,
    Gumarenggeng anggereng
    Anggung gumrunggung,
    Pindha padhane si mudha,
    Prandene paksa kumaki.
    =
    Hidup sekali saja berantakan,
    Tidak berkembang nalarnya tercabik-cabik.
    Umpama goa gelap menyeramkan,
    Dihembus angin,
    Suaranya gemuruh menggeram,
    berdengung
    Seperti halnya watak anak muda
    Sudah begitu masih berlagak congkak.
    -
    -
  7. Kikisane mung sapala,
    Palayune ngendelken yayah wibi,
    Bangkit tur bangsaning luhur,
    Lha iya ingkang rama,
    Balik sira sarawungan bae durung
    Mring atining tata krama,
    Nggon anggon agama suci.
    =
    Tujuan hidupnya tak berarti,
    Maunya mengandalkan orang tuanya,
    Yang terpandang serta bangsawan
    Itu kan ayahmu !
    Sedangkan kamu kenal saja belum,
    akan hakikatnya tata krama
    ajaran agama yang suci
    -
    -
  8. Socaning jiwangganira,
    Jer katara lamun pocapan pasthi,
    Lumuh asor kudu unggul,
    Semengah sesongaran,
    Yen mangkono keno ingaran katungkul,
    Karem ing reh kaprawiran,
    Nora enak iku kaki.
    =
    Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
    Nampak jelas walau tutur kata halus,
    Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
    Sombong besar mulut
    Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
    Puas diri berlagak tinggi
    Tidak baik itu nak !
    -
    -
  9. Kekerane ngelmu karang,
    Kekarangan saking bangsaning gaib,
    Iku boreh paminipun,
    Tan rumasuk ing jasad,
    Amung aneng sajabaning daging kulup,
    Yen kapengok pancabaya,
    Ubayane mbalenjani.
    =
    Di dalam ilmu sihir
    Rekayasa dari hal-hal gaib
    Itu umpama bedak.
    Tidak meresap ke dalam jasad,
    Hanya ada di kulitnya saja nak
    Bila terbentur marabahaya,
    bisanya menghindari.
    -
    -
  10. Marma ing sabisa-bisa,
    Bebasane muriha tyas basuki,
    Puruita-a kang patut,
    Lan traping angganira,
    Ana uga angger ugering kaprabun,
    Abon aboning panembah,
    Kang kambah ing siyang ratri.
    =
    Karena itu sebisa-bisanya,
    Bahasanya, upayakan berhati baik
    Bergurulah secara baik
    Yang sesuai dengan dirimu
    Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
    Menjadi syarat bagi yang berbakti,
    yang berlaku siang malam.
    -
    -
  11. Iku kaki takok-eno,
    marang para sarjana kang martapi
    Mring tapaking tepa tulus,
    Kawawa nahen hawa,
    Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
    Tan mesthi neng janma wredha
    Tuwin mudha sudra kaki.
    =
    Itulah nak, tanyakan
    Kepada para sarjana yang menimba ilmu
    Kepada jejaknya para suri tauladan yang benar,
    dapat menahan hawa nafsu
    Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
    Tidak mesti dikuasai orang tua,
    Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !
    -
    -
  12. Sapantuk wahyuning Gusti Allah,
    Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
    Bangkit mikat reh mangukut,
    Kukutaning jiwangga,
    Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,
    Lire sepuh sepi hawa,
    Awas roroning atunggil
    =
    Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
    Dengan cemerlang mencerna ilmu tinggi,
    Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
    Kesempurnaan jiwa raga,
    Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
    Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
    Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
    -
    -
  13. Tan samar pamoring sukma,
    Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
    Sinimpen telenging kalbu,
    Pambukaning warana,
    Tarlen saking liyep layaping aluyup,
    Pindha pesating sumpena,
    Sumusuping rasa jati.
    =
    Tidak lah samar menyatunya sukma,
    Meresap terpatri dalam semadi,
    Diendapkan dalam lubuk hati
    menjadi pembuka tirai,
    Tidak lain berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
    Seperti terlepasnya mimpi
    Merasuknya rasa yang sejati.
    -
    -
  14. Sejatine kang mangkana,
    Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
    Bali alaming ngasuwung,
    Tan karem karameyan,
    Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
    Mulih mula mulanira,
    Mulane wong anom sami.
    =
    Sebenarnya yang demikian itu
    sudah mendapat anugrah Tuhan,
    Kembali ke “alam kosong”,
    tidak mengumbar nafsu duniawi,
    yang bersifat kuasa menguasai.
    Kembali ke asal mula.
    Oleh karena itu, wahai anak muda sekalian…




Serat Wulangreh, Yasa Dalem KGPAA. Mangkunegara IV ing Puro Mngkunegoro Soerakarta.

Sumber:

Serat Jayengbaya


Serat Jayengbaya adalah buku petuah / falsafah kehidupan yang dikarang oleh R. Ngabehi Rangga Warsita dan diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1988 dengan alih bahasa dan alih aksara L. Mardiwarsito. Buku ini dikarang oleh R. Ngabehi Ranggawarsita pada saat beliau berumur antara 20 sampai 28 tahun sewaktu menjadi carik Kadipaten Anom di Kasunanan Surakarta.

Buku serat ini menceritakan tentang seorang tokoh bernama Jayengbaya yang ingin mencari kebahagiaan dalam kehidupannya dengan cara melaksanakan tugas sebaik-baiknya, dengan mencari jabatan tinggi, dan mengejar kedudukan yang terhormat. Dalam usaha ini, 47 macam cara kehidupan telah dicobanya, tetapi tidak ada satupun yang cocok baginya, karena masing-masing cara kehidupan tersebut selalu ada yang mengandung kekurangan-kekurangan dan tidak ada satu pun yang sempurna. Akhirnya, Jayengbaya memutuskan untuk kembali menekuni cara kehidupannya yang semula, karena hal itulah yang dianggap paling baik baginya.

Asmaradana:
Kidung kadresaning kaptiYayah nglamong tanpa mangsaHingan silarja jatinéSatata samaptaptinyaRaket rakiting ruksaTahan tumaneming sikuKarasuk sakèh kasrakat.
Yang secara umum dapat diterjemahkan menjadi:Inilah nyanyian tentang ketabahan hatiSeakan berkicau tanpa mengenal waktuTanpa mengenal batas kesusilaan dan keselamatan,Oleh karenanya kita harus selalu waspadadalam menghadapi hukum alamdan kuat dalam mengendalikan emosidan dalam menghadapi penderitaan yang dialami.

Pranala:
·                     Wiki: Serat Jayengbaya
·                     http://seratsuluk.wordpress.com/2009/10/31/serat-jayengbaya/

Selasa, 20 Maret 2012

Raja Purwa



Pustaka raja purwa adalah kumpulan cerita yang dipakai sebagai acuan oleh para dhalang dalam pertunjukan wayang kulit di pulau Jawa. Kumpulan cerita ini dikumpulkan dan dinyatakan secara tertulis oleh pujangga keraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Rangga Warsita. Walaupun sumber cerita dari pustaka raja purwa ini berasal dari Mahabarata dan Ramayana dari India, namun beberapa isi detailnya telah disesuaikan dengan keadaan di pulau Jawa pada waktu itu.

Beberapa modifikasi cerita ini misalnya dewi Drupadi dalam cerita aslinya adalah istri dari kelima saudara Pendawa, tetapi dalam pustaka raja purwa ia hanya dinyatakan sebagai istri dari saudara tertua Pendawa yaitu Puntadewa (Yudistira). Hal ini untuk menghindari kemungkinan timbulnya konflik sosial, karena seorang wanita tidak bisa mempunyai 5 orang suami. Hal ini penting karena di pulau Jawa, cerita wayang dipakai sebagai petuah, contoh dan pedoman hidup kebanyakan masyarakat pada waktu itu.

Judul lakon cerita dalam pustaka raja purwa ini ada lebih dari 177 lakon/lampahan dan di antaranya adalah (dalam bahasa Jawa):

  1. Manikmaya, yaitu cerita mengenai Manik (Bathara Guru di kahyangan) dan Ismaya (Semar di alam marcapada/dunia).
  2. Watugunung, yaitu cerita mengenai Raden Buduk dari kerajaan Gilingwesi yang mengawini ibunya sendiri.
  3. Mumpuni, yaitu cerita mengenai perkawinan antara dewi Mumpuni dan bathara Yamadipati.
  4. Wisnu krama
  5. Bambang Kalingga/Sekutrem
  6. Palasara krama
  7. Dewabrata
  8. Pandu lair
  9. Narasoma kawin
  10. Puntadewa lair
  11. Suyudana lair
  12. Bima bungkus
  13. Arjuna lair
  14. Yamawidura kawin
  15. Pandhu papa
  16. Palgunadi
  17. Bale sigala-gala
  18. Babad alas Wanamarta
  19. Arimba
  20. Mustakaweni
  21. Antasena lair
  22. Gathotkaca lair
  23. Pergiwa-Pergiwati
  24. Gathotkaca kawin
  25. Gathotkaca dadi ratu
  26. Sasikirana
  27. Brajadenta mbalela.
  28. ……
  29. Wahyu cakraningrat
  30. Jagal Abilawa
  31. Kresna duta
  32. Kresna gugah
  33. Seta gugur
  34. Bambang Wisanggeni
  35. Pendawa dadu
  36. Yudayana ilang
  37. ...…
  38. Arjunawiwaha
  39. Sumantri ngenger
  40. Dasarata kawin
  41. Dewi Sinta lair
  42. Rama kawin
  43. Tundhungan
  44. Rama duta
  45. Rama gandrung
  46. Rama tambak
  47. Pejahipun Kumbakarna
  48. Pejahipun Indrajid
  49. Pejahipun Dasamuka
  50. Sinta obong
  51. Rama obong
  52. Rama nitis
  53. dan lain-lain.



Serat Kalatidha


Serat Kalatidha atau Kalatidha saja adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.

Latar belakang
Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah “zaman gila” atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau “pujangga terakhir”. Sebab setelah itu tidak ada “pujangga kerajaan” lagi.

Arti singkat
Syair Kalatidha bisa dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama ialah bait 1 sampai 6, bagian kedua ialah bait 7 dan bagian kedua ialah bait 8 sampai 12. Bagian pertama ialah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip. Bagian kedua isinya ialah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya ialah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.

Petikan
Bait Serat Kalatidha yang paling dikenal adalah bait ke-7. Sebab bait ini adalah esensi utama syair ini. Amanat syair ini bisa diringkas dalam satu bait ini.


Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya kéduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.



Menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
bagaimana akan mendapatkan bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.


Pranala:
·                     Wiki: Serat Kalatidha.
·                     http://seratsuluk.wordpress.com/2009/10/31/serat-kalatidha