Senin, 17 Desember 2012

Perhitungan Hari-Bulan-Mangsa Dan Windu

PERHITUNGAN HARI-BULAN-MANGSA DAN WINDU

Sejak Tanah Jawa dihuni oleh penduduk yang pertama, yalah orang-orang yang dibawa oleh Empu Sangkala bersaudara dan akhirnya para puruhita sejumlah sepuluh orang, mereka semua masih memeluk Agama Hindu, dan sudah menjadi adat kebiasaan mengenal akan perhitungan bulan, masa, tahun yang dinamakan pancala. Di Tanah Jawa dikenal dengan istilah sangkala, sebagai tanda penghormatan dan peringatan bagi Empu Sangkala ketika-mendarat di Tanah Jawa, seperti yang tersebut dalam kitab Purwa-pada.
Konon pada waktu Empu Sangkala bertapa, ia mendapatkan wangsit yang kemudian-memperkenalkan 5 (lima) macam hari untuk panembah.
1.   Ada hari yang dinamakan hari Sri, yalah hari bagi keturunan Dewi Sri yang konon memiliki cahaya putih. Cara menyembahnya menghadap ke arah Timur.

2.   Ada hari yang dinamakan hari Kala, yalah hari bagi keturunan Sang Hyang Kala yang konon cahayanya kuning (jenar). Cara menyembahnya menghadap ke arah Selatan.
3.   Ada hari yang dinamakan hari Brahma (Brama), yalah hari bagi keturunan Sang Hyang Brahma yang konon cahayanya merah. Cara menyembahnya menghadap ke arah Barat.
4.   Ada hari yang dinamakan hari Wisnu, yalah hari bagi keturunan Sang Hyang Wisnu yang konon cahayanya hitam. Cara menyembahnya, menghadap ke arah utara.
5.   Ada hari yang dinamakan hari Guru, yalah hari bagi keturunan Hyang Guru yang konon cahayanya beraneka warna. Cara menyembahnya menengadah keatas dan menundukkan kepala.
Demikianlah asal-mula penduduk Tanah Jawa mempunyai hitungan hari lima, yaitu : Sri, Kala, Brahma, Wisnu dan Guru. Untuk menghindari rasa tidak hormat kepada para dewa sebutannya diganti dengan penjelasan warnanya masing-masing.
Kelima warna tadi, adalah sebagai berikut di bawah ini :
1.   Warna putih, dinamakan seta.
2.   Warna kuning atau jenar, dinamakan pita.
3.   Warna merah, dinamakan reta.
4.   Warna hitam, dinamakan Kresna.
5.   Warna yang bermacam-macam, dinamakan pancawarna.
Akhirnya masyarakat terbiasa untuk menamakannya dengan kata-kata : pethakan (seta atau putih), jenean (kuning, jenar, pita) abritan (merah), cemengan (hitam, kresna), dan mancawarna (pancawarna atau macam-macam warna), yang cara menyebutnya pada waktu itu masih mempergunakan dengan bahasa Kawi: Seta, pita, reta, kresna dan pancawarna. Demikianlah cerita mengenai arah panembah bagi keperluan perhitungan menurut cara-cara yang dianjurkan Empu Sangkala.
Pada suatu ketika Sang Hyang Surya berkenan menjelma jadi seorang pandeta bernama Resi Radi di Tanah Jawa, dan membangun sebuah padepokan di Gunung Tasik. Sejak Resi Radi berada di gunung Tasik banyak orang-orang yang berguru padanya.
Empat tahun setelah Resi Radi bermukim di Gunung Tasik, pada tahun Sarwwadari, Suryasangkala 288 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Brahmana Ngesti Panembah, tahun candra-sangkala 296 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Mangsa Kasanga Manglar dan bertepatan masa Kartika, Resi Radi berkenan mencipta hari berjumlah 5, masing-masing dinamakan: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Dalam perkembangannya hari yang, berjumlah lima ciptaan Resi Radi tadi dijadikan rangkapan (kelengkapan) bagi hari ciptaan Empu Sangkala. Nama-nama hari ciptaan Empu Sangkala kebanyakan masih mempergunakan bahasa Kawi. Demikian pula hari-hari ciptaan Resi Radi, juga mempergunakan bahasa Kawi.
Hari yang dinamakan Seta diganti dengan kata Legi atau Manis. Wage disebut Kresna dan Kliwon disebut Kasih. Dengan diselang-seling terjadilah ke lima hari tersebut: Manis, Paing, Pon, Kresna, Kasih.
Pada jaman Resi Radi diperkenalkan juga rangkapan perhitungan untuk panatamangsa berdasarkan kebiasaan orang-orang Hindu.
Di Tanah Jawa lazimnya dikenal dengan nama-nama sebagai berikut di bawah ini :
1.   Masa Kartika, dinamakan Kasa,
2.   Masa Pusa dinamakan Karo.
3.   Masa Manggasri dinamakan Katiga.
4.   Masa Sitra dinamakan Kapat.
5.   Masa Manggakala dinamakan Kalima.
6.   Masa Naya dinamakan Kanem.
7.   Masa Palguna dinamakan Kapitu.
8.   Masa Wisaka dinamakan Kawolu.
9.   Masa Jita dinamakan Kasanga.
10.     Masa Srawana dinamakan Kasadasa.
11.     Masa Padrawana dinamakan Pasta.
12.     Masa Asuji dinamakan Sadda.
Adapun panatamangsa tersebut, berdasarkan hitungan tahun Suryasangkala. Panatamangsa ciptaan Resi Raddi tadi dinamakan mangsa Prawa, dan dipergunakan sebagai rangkapan panatamangsa Hindu.
Demikian pula Resi Radi berkenan menciptakan masa perhitungan warsa (tahun), nama-nama untuk bintang-bintang yang dijadikan pedoman jalannya tahun surya (matahari) dan candra (bulan). Demikianlah asal mula masyarakat Tanah Jawa mempergunakan hitungan untuk hari dua macam, dan berdasarkan hitungan lima dan lima. Dipergunakannya pranata mangsa Prawa, dan membaca keadaan bintang-bintang di langit sebagai suatu isyarat atau tanda datangnya hujan dan arah. Sampai sekarang pun masyarakat Tanah Jawa masih mempergunakan tanda-tanda bintang di langit sebagai isyarat hujan dan arah mata angin.
Bintang-bintang yang dijadikan isyarat tersebut antara lain: Bintang Jakabelek, Lanjarngirim, Luku, Jaran dhawuk, Gubug penceng, Bimasekti, dan Wuluh.
Dalam tahun Iwa suryasangkala 316, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Horaging Wukir Kabesmi, tahun candrasangkala 327, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Pujaning Brahmana Guna, seorang siswa Resi Raddi yang bernama Raden Raddiya putera Prabu Palindriya diberi tugas untuk mengambil panah milik ayahandanya yang tertinggal di padepokan. Panah telah dihaturkan dan akhirnya Raden Raddiya diangkat sebagai patih dan bernama Silacala.
Tak lama setelah diangkat sebagai patih, Silacala ditugaskan untuk menyerang dan merebut Negara Gilinghaya. Raja Negara Gilinghaya bernama Prabu Sitawaka, yang tak lain adalah Dewi Sri yang menyamar sebagai seorang priya. Setelah Negara Gilinghaya kalah. Dewi Sri yang menyamar sebagai Prabu Sitawaka kembali dalam wujud semula dan pergi meninggalkan Gilinghaya masuk ke hutan untuk bertapa.
Ayahanda Patih Silacala yalah Prabu Palindriya, mengangkat Patih Silacala menjadi raja di Gilinghaya. Sejak Silacala menjadi raja, nama Gilinghaya dialih menjadi Gilingwesi.
Konon Prabu Watugunung yang merupakan saudara tertua yang lahir dari Dewi Soma dicarinya. Setelah bertemu Prabu Watugunung dijadikan paranpara pendeta di pertapaan Andongdadapan di Gadingmawukir. Pada masa itulah Resi Raddi berkenan menata hari dan pawukon, mempergunakan nama-nama isteri, putra Prabu Palindriya dan nama dari sang prabu sendiri.
Para isteri dari Prabu Palindriya yang terlahir dari Sang Hyang Anantaboga sebanyak dua orang. Dewi Basundari beralih nama Dewi Sinta dan yang muda bernama Dewi Banuwati beralih nama Dewi Landep. Seterusnya disambung dengan nama-nama para putra sehingga jumlahnya mencapai tigapuluh. Urutan nama-nama pawukon tersebut, sebagai berikut :
1.     Sinta,
2.     Landep,
3.     Wukir.
4.     Kurantil.
5.     Tolu,
6.     Gumbreg,
7.     Warigalit,
8.     Warigagung,
9.     Julungwangi.
10.   Sungsang.
11.   Galungan.
12.   Kuningan,
13.   Langkir,
14.   Mandasiya,
15.   Julungpujud,
16.   Pahang,
17.   Kuruwalut,
18.   Marakeh,
19.   Tambir,
20.   Medangkungan,
21.   Maktal,
22.   Wuye,
23.   Manahil.
24.   Prangbakat,
25.   Bala,
26.   Wugu,
27.   Wayang,
28.   Kulawu,
29.   Dukut,
30.   Watugunung.
Setiap tujuh hari wuku-wuku tadi berganti. Sebagai hitungan untuk membaca curah hujan dan datangnya badai, pawukon tersebut dijadikan tolok ukur hitungannya dengan rangkapan hitungan masa surya (matahari).. Demikian pula, pawukon tersebut dijadikan sumber keterangan untuk membaca watak dan pribadi seseorang dan rejekinya.
Dalam membaca watak, pribadi dan rejeki seseorang masih ditambah lagi dengan perhitungan sesuai padewan yang tercantum di dalamnya. Konon perhitungan tersebut didasarkan atas watak-watak para arya, dan pribadi dari para dewa yang bersangkutan. Tak ketinggalan juga disertakan pula perhitungan akan hama, sengkan dan turunan asu ajag, celeng tambalung, kutilapas, sapi gumarang, tikus jinada, menjangan randi dan lain sebagainya.
Dalam tahun Wakdaniya suryasangkala 386, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Wewayanganing Brahmana Katon Muksa, tahun candrasangkala 397, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Pandita Trusing Guna, Resi Raddi mendapatkan sasmita (alamat) dari Hyang Surya, pesannya, “Mawi satata kadaluwarsa, waluya laya,” Artinya: Orang mendapatkan bencana, dikarenakan bepergian terlalu lama.
Resi Raddi dapat tanggap akan sasmita Hyang Surya, bahwasanya dirinya sendirilah yang dilambangkan dengan kata-kata tadi. Sebab Resi Raddi telah lama berada di mertyapada, meninggalkan kahyangan. Pada keesokan harinya Resi Raddi segera memuja kancana yang tidak lain merupakan hari srengenge (matahari) dan sejak itu dinamakan hari Radite.
Pada malam harinya Brahmana Raddi ditemui Hyang Candra, yang memberikan sasmita, “Waktra anisana ri netra, awidde ngudaya” yang artinya: “Hilang kebijaksanaan, dikarenakan mata terlepas dari wajah (raut muka).” Brahmana Raddi menyadari bahwa dirinya telah lama meninggalkan kahyangan, sehingga sepeninggal sang brahmana kahyangan seakan-akan gelap. Pagi harinya Brahmana Radi -memuja salaka (perak), ditujukan untuk memuja rembulan (bulan). Sejak itu hari pemujaan salaka dinamakan hari Soma yang berarti bulan.
Malam harinya Brahmana Raddi mendapatkan sasmita dari bintang Anggara. Kata-katanya berbunyi, “Sewari taye sogata, rabanggun hura”. Makna dari sasmita tadi, “Para murid kehilangan gurunya, terjadilah perselisihan dan huru-hara.” Brahmana Raddi menyadari bahwa selama bertempat tinggal di mertyapada, terjadilah huru-hara di kahyangan. Pada keesokan harinya sang brahmana memuja api. Sejak saat itu hari untuk memulyakan api dinamakan Anggara, yang berarti hari api.
Pada malam harinya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Budda. Sasmita bintang Budda: “Sakatanira daruki, pangira dalayun.” Makna dari sasmita bintang Budda tadi: “Manakala ada pedati tanpa sais, hewan-hewan penariknya akan kehilangan arah.” Brahmana Raddi merasa selama di mertyapada perjalanan surya mengalami banyak perubahan. Pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan besi dengan tujuan memuliakan juga bumi. Sejak hari pemuliaan tadi dinamakan hari Budda yang berarti bumi.
Malam berikutnya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Wrahaspati yang memberikan lambang kata-kata “Mamingkareng adikara, karanya tunna.” Makna sasmita bintang Wrahaspati tadi: “Manakala ada orang meninggalkan pekerjaan yang penting, akhirnya dirinya sendirilah yang mendapatkan kerugian.
Brahmana Raddi menyadari bahwa turunnya ke bumi, banyak pekerjaan yang penting diterlantarkan. Akhirnya sang brahmana menyadari pula bahwa hanya kerugianlah yang menimpanya. Pada pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan perunggu sekaligus memuliakan halilintar. Hari pemuliannya dinamakan hari Wrahaspati, yang berarti halilintar dan lazimnya orang mengatakan Respati.
Pada malam harinya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Sukra, yang memberikan kata-kata lambang : “Katenti suti juga ya murkka, madurhywaka.” Maknanya: “Menuruti segala keinginan itu disebut murka, akhirnya kesusahanlah (bencana) yang didapat.” Brahmana Raddi menyadari bahwa selama dirinya berada di mertyapada akan dikatakan murka oleh para dewa. Pada pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan tembaga sekaligus memuliakan air. Sejak hari pemuliaan tadi, disebut hari Sukra yang berarti larangan.
Pada malam berikutnya, Brahmana Raddi menerima sasmita lagi dari bintang Niscaya yang mengatakan. “Samadi masasaya, lanepa laksana.” Makna dari sasmita tadi: “Jika janji telah datang pada masanya, tetap harus ditepati.” Brahmana Raddi menyadari bahwa dahulu pernah berjanji dengan para dewa, bahwa hanya seratus tahun saja di dunia. Itulah sebabnya, dalam hati sang brahmana merasa malu sebab telah lebih dari waktu yang pernah dijanjikannya.
Pada keesokan harinya Brahmana Raddi mengadakan pemuliaan timah yang berarti juga memuliakan angin. Sejak hari pemuliaan itu, dinamakan hari Saniscaya yang berarti angin.
Setelah seminggu lamanya Brahmana Raddi terus menerus menerima sasmita dari bintang-bintang, menghadaplah ia kepada Prabu Selacala. Sang brahmana menyarankan kepada sang raja, agar berkenan memakai dan mengundangkan penggunaan perhitungan hari yang berjumlah lima dan tujuh tadi beserta perhitungan pawukon. Kesemuanya tadi diharapkan untuk menjadi peringatan. Setelah didapat kesepakatan dengan raja, Brahmana Raddi muksa kembali ke kahyangan. Kembali dalam wujud dan nama semula, yalah Hyang Batara Surya.
Konon setelah kepergian Brahmana Raddi, Resi Buddalah yang menggantikannya menjabat brahmana di Gilingwesi. Sejak di Andongdadapan Resi Budda telah melaksanakan segala perintah Brahmana Raddi. Antara lain menyebar luaskan penggunaan hari yang berjumlah lima, yalah : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon beserta hitungan masa Prawa sebagai pengganti masa Pali-wara Hindu. Demikian pula telah disebar luaskan penggunaan panata bulan yang tigapuluh jumlahnya beserta rangkapan kelengkapannya. Adapun pemakaian hari yang berjumlah tujuh itu tidak mengalami perubahan. Tetap melestarikan seperti sediakala, umpamanya:
1.   Radite. Radite adalah nama Prabu Watugunung ketika menjadi siswa (puruhita) pada Brahmana Raddi.
2.   Soma. Soma adalah nama permaisuri Prabu Palindriya yang pertama.
3.   Anggara, Sukra. Anggara dan Sukra, kedua-duanya putra Dewi Soma dengan Prabu Palindriya.
4.   Wrehaspati. Pada waktu Prabu Palindriya masih menjadi pandita, namanya wrahaspati.
5.   Niscaya. Niscaya adalah putera Dewi Soma yang bersuamikan Raden Radite (Prabu Selacala). Konon Prabu Selacala tidak berkeberatan mengakui anaknya, jika terakhir seorang laki-laki. Setelah lahir laki-laki, dinamakan Raden Niscaya. Akan tetapi lama-kelamaan tampak wujudnya yang asli yalah perempuan. Selanjutnya, namanya diganti dengan Dewi Tumpak. Sejak itu hari Niscaya diganti dengan nama Dewi Tumpak dan segera duimumkan kepada khalayak ramai.
Akhirnya ketujuh hari tersebut, nama-nama adalah :
1. Radite,
2. Soma,
3. Anggara,
4. Budda,
5. Wrahaspati,
6. Sukra dan
7. Tumpak.
Setelah penggantian terjadi Resi Budda berkenan menambah rangkapan hari sebagai tanda adanya pangapesan (bencana, halangan, aral dan sebagainya). Sedangkan nama para putra yang lahir dari Resi Anggara dan Resi Sukra yang dipergunakan. Selanjutnya dipakai sebagai rangkaian hari dan dinamakan hari naas (paringkelan), yalah :
1. Raden Aryang,
2. Raden Wurungkung,
3. Raden Paning-ron,
4. Raden Owas,
5. Raden Wewulu,
6. Dewi Tungle.
Keenam-nya putera Resi Budda. Seterusnya dibuat juga perhitungan hari-hari baik dan tidak baik sebagai kelengkapan- prabot pawukon dan dinamakan pandangon.
Nama-nama yang dicantumkan, mirip nama Resi Anggara dan Resi Sukra. Mereka adalah :
1. Raden Dungu,
2. Raden Jagur,
3. Raden Gigis,
4. Raden Kerangan,
5. Raden Nohan,
6. Raden Wogan,
7. Dewi Tulus,
8. Raden Wurung,
9. Raden Dadi.
Setelah tersusun, Resi Budda menghadap Sang Prabu Watugunung, dan menyerahkannya. Selanjutnya oleh Prabu Watugunung hari perhitungan baik dan buruk untuk kelengkapan pawukon yang dinamakan padangon tadi disebar luaskan kepada para kawula praja.
Demikianlah asal mula masyarakat Tanah Jawa mempergunakan hari pasaran lima, sebagai ganti hari padewan yang juga lima jumlahnya. Seterusnya dimulailah penggunaan hari sejumlah tujuh, paringkelan dan pandangon, pawukon dan palintangan. Sebaliknya cara melakukan upacara dan sesaji masih memakai adat dan tatacara Agama Budha.
Dalam tahun Istrimuka suryasangkala 621, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Janma Sinembah ing Anggas, tahun candrasangkala 640, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Tanpa Warna Angrasa kira-kira bertepatan dengan masa Sitra, pada suatu ketika Hyang Narada beserta para dewa lainnya turun ke mertya-pada menemui Raja Pandita Parasa di Negara Astina untuk menyampaikan amanat Sang Hyang Girinata. Berkatalah Hyang Narada kepada Raja Pandita Parasara, “Kaki Parasa. Atas kehendak Sang Hyang Girinata kaki diangkat sebagai ratu binatara di Negara Astina dan sejajar dengan Negara Wirata. Wahai Kaki Prabu, nama-mu sekarang Prabu Dwi Pakeswara.”
Setelah menyampaikan amanat Hyang Girinata, Hyang Narada beserta para dewa lainnya kembali ke kahyangan. Wadyabala dan kawula Astina yang mendengar bahwa Sang Parasara telah diangkat sebagai Prabu Binatara dengan nama Dwipakeswara, amat bersukacita. Sedangkan Prabu Binatara Dwipakeswara berkenan mengangkat beberapa anggota keluarga, antara lain Maharsindra Dewa dijadikan seorang brahmana. Adapun Wasi Jawalagni diangkat sebagai patih dan bertindak sekaligus sebagai sesepuh (tuwanggana). Patih-jawi diberikan kepada Sang Wasi Duma. Wiku Salya menjadi jaksa.
Bertepatan masa Srawana, Prabu Binatara Dwipakeswara berkenan merakit tata perjalanan masa yang jumlahnya duabelas yang dinamakan masa Purwa. Perhitungannya tidak disandarkan dasar dirga, seperti halnya perilaku perhitungan untuk masa Pali atau masa Prawa, tetapi perjalanan dan perhitungan serta nama-nama tahun masih mempergunakan dasar-dasar paliwarsa atau prawawarsa, dan masih ditambah duabelas masa lagi yang disebut Purwawisa sebagai kelengkapan untuk perhitungan tahun Pali dan Prawa.
Nama-nama paliwarsa dalam pengertian Hindu ialah :
1. Sambrama,
2. Biswawisu,
3. Kalayudi,
4. Kalakanda,
5. Rahutri,
6. Dumdumi,
7. Triyoddari,
8. Tisimuka,
9. Dinakara,
10. Sujarha,
11. Saddamuku,
12. Saddakasadda,
13. Jagalogena,
14. Kilaka,
15. Prapawa,
16. Iwa,
17. Cukila,
18. Pramududa,
19. Prasudpadi,
20. Anggila,
21. Istrimuka,
22. Prawa,
23. Ipa,
24. Tadu,
25. Iswara,
26. Wakdaniya,
27. Pramadi,
28. Wikrama,
29. Wila,
30. Citrapanu,
31. Supanu,
32. Taruna,
33. Partipa,
34. Wiya,
35. Sarwasiti,
36. Sarwwadari,
37. Wirodi,
38. Wikuraddi,
39. Kareha,
40. Santena,
41. Wijaya.
42. Jayaha,
43. Manmata,
44. Tukmuti,
45. Wiyolambi,
46. Wulambi,
47. Wikari,
48. Sarwwari,
49. Pilapawa,
50. Subakartti,
51. Sabakartti,
52. Awiya,
53. Anandu,
54. Rancaha,
55. Wingsala,
56. Nala,
57. Pilawangga,
58. Sahumiya,
59. Saddaruna,
60. Rudraksa,
semuanya didasarkan perhitungan dengan surya (jalannya matahari).

Adapun ciptaan Brahmana Raddi, Padrawarsa terdiri dari :
1. Kanika,
2. Yama,
3. Pratiwi,
4. Suman,
5. Brahma,
6. Uma,
7. Endra,
8. Sri,
9. Iswara,
10. Pramana,
11. Wisesa,
12. Esa,
hitungannya atas dasar masa surya dan berlaku di Negara Gilingwesi, (masih dipergunakan di daerah Jawa Barat).

Ciptaan Prabu Dwipakeswara, yang termasuk dalam golongan masa Purwwa yalah :
1. Pratiwi,
2. Prayana,
3. Brahma,
4. Angga,
5. Bayu,
6. Yuma,
7. Sri,
8. Kala,
9. Marugga,
10. Garuna,
11. Baruna,
12. Kirana.

Adapun nama-nama yang terdapat dalam masa Purwa, masih memakai seperti yang tercantum dalam masa Paliwara, yalah :
1.   Masa Kartika, terdapat 31 hari dinamakan Kasa.
2.   Masa Pusa, terdapat 30 hari dinamakan Karo.
3.   Masa Manggasri, terdapat 30 hari dinamakan Katiga.
4.   Masa Sitra, terdapat 31 hari dinamakan Kapat.
5.   Masa Manggakala, terdapat 30 hari dinamakan Kalima.
6.   Masa Naya, terdapat 31 hari dinamakan Kanem.
7.   Masa Palguna, terdapat 31 hari dinamakan Kapitu.
8.   Masa Wisaka, terdapat 30 hari dinamakan Kawolu.
9.   Masa Jita, terdapat 30 hari dinamakan Kasadasa.
11.     Masa Padrawana, terdapat 30 hari dinamakan Dasta.
12.     Masa Asuji, terdapat 30/31 hari dinamakan Sadda.

Konon masa Paliwara tadi segera diundangkan ke seluruh Negeri Astina, dan masyarakat mempergunakannya sebagai dasar-dasar perhitungan masa. Sedangkan di Negeri Wirata, masih berlaku hitungan dengan masa Paliwarsa. Para penghulu agama Brahmalah yang dibebani dan diserahi pelaksanaan hitungannya. Pada jaman pemerintahan Prabu Kresna Dwipayana, Negara Astina lazim memakai hitungan Prawawarsa. Sebaliknya selain hitungan masa Prawawarsa, hitungan lainnya masih dipakai dan diperingati juga.
Jaman Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya, yang dipergunakan yalah masa Prawawarsa. Lain-lainnya tak diperingati (dipakai) lagi, kecuali dipergunakan di kalangan para pujangga dan para brahmana saja.
Konon pada tahun suryasangkala 1236, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Rasaning Satriya Nembah Gusti, Candrasangkala 1338, di tandai dengan sengkalan yang berbunyi Pandita Sri katon Tunggal, Majapahit jatuh oleh putra Prabu Brawijaya ke V sendiri, yalah Raden Patah. Oleh para wali Raden Patah diangkat sebagai Raja Islam di Demak, dan segala perhitungan yang mengenai hari, masa, tahun dan lain-lainnya diganti semua nama-namanya dengan bahasa Arab.
Pada kenyataannya tahun Arab hanya delapan jumlahnya. Dasar perhitungannya dikalikan, dan hasil perkalian tadi, namanya Windu.
Hari pasaran yang dipakai adalah: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon, Paringkelan, padangon, sengkan turunan, dan wuku tetap dipergunakan. Doa-doa memakai bahasa Arab, demikian pula ketujuh hari tersebut nama-namanya pun dalam bahasa Arab.

Hari-hari yang diganti memakai bahasa Arab yaitu :
1.   Dite, diganti nama Awal atau Akad yang berarti permulaan atau awal.
2.   Soma, diganti Isnen atau Senen, Senin (Ahwan) yang berarti yang kedua.
3.   Anggara, diganti nama Salasa atau Jabari yang berarti yang ke-tiga.
4.   Budda, diganti nama Arba, Rabu atau Dibari yang berarti yang keempat.
5.   Respati, diganti nama Munisa atau Kamis yang berarti yang kelima.
6.   Sukra, diganti nama Ngurabah atau Jumuah, yang berarti berkumpul atau kumpulan.
7.   Tumpak, diganti Sabad, Sabtu atau Sayari yang berarti terakhir.

Perjalanan matahari dihitung dengan dasar Prawawarsa, yaitu perhitungan Sang Hyang Surya. Adapun lama hari dihitung memakai dasar dirga Paliwarsa, dan tidak berdasarkan Purwawarsa sebab dirasa kurang cocok.

Bulan, masa dan umurnya.
1.   Masa Kasa, berumur 41 hari.
2.   Masa Karo, berumur 23 hari.
3.   Masa Katiga, berumur 24 hari.
4.   Masa kapat, berumur 25 hari.
5.   Masa Kalima, berumur 27 hari.
6.   Masa kanem, berumur 43 hari.
7.   Masa Kapitu, berumur 43 hari.
9.   Masa Kasanga, berumur 25 hari.
10.     Masa Kasapuluh, berumur 24 hari.
11.     Masa Dasta, berumur 23 hari.
12.     Masa Sadda, berumur 41 hari;

Pada waktu itu yang dipergunakan hanya berdasarkan panata-mangsa, sedangkan perhitungan tahun (warga) sudah tidak dilanjutkan lagi. Dengan demikian ada 60 nama untuk jenis Paliwarsa, 12 nama untuk Pranawarsa, dan 12 nama untuk Purwawarsa yang tidak dipergunakan lagi.

Kalaziman pada waktu itu mempergunakan nama sesuai tata dan cara Arab, untuk candrasangkala, seperti yang tersebut di di bawah ini.
1.   Muharam atau Sura, berumur 30 hari (Ijabah, Asan-Usen).
2.   Sapar, berumur 29 hari.
3.   Rabingulawal (Mulud), berumur 30 hari. Yalah hari kelahiran-Kanjeng Nabi.
4.   Rabingulakir, berumur 29 hari.
5.   Jumadilawal, berumur 30 hari.
6.   Jumadilakir berumur 29 hari.
7.   Rajab, berumur 30 hari. Hari mik'rad Kangjeng Nabi.
8.   Arwah (Ruwah, atau Sakban) berumur 29 hari, Kalkahosar dan kubur.
9.   Ramelan (Puwasa), berumur 30 hari. Rialat.
10.     Syawal, berumur 29 hari. Idhul Fitri. ari adi.
11.     Dulkaidah (Apit, Sela), berumur 30 hari.
12.     Dulhijan (Besar), berumur 30 hari. Hari korban (kekah), haji.
Setiap 12 tahun telah berjalan, dinamakan satu tahun perjalanan candrasangkala.

Adapun nama-nama tahun bagi candra ada delapan, ialah :
l. Alip,
2. Ehe,
3. Jimawal,
4. Je,
5. Dal,
6. Be.
7. Wawu dan
8. Jimakir.
Setiap kali dalam perjalanan keliling kedelapan tahun tersebut dinamakan satu windu.

Windu ada empat macam. Nama-namanya menurut bahasa Jawa, ialah :
1.   Adi. Windu Adi berarti windu yang baik dan banyak mengandung keelokan.
2.   Kuntara. Windu Kuntara berarti windu yang banyak mengandung bencana.
3.   Sengara (Sanghara). Windu Sengara atau Sanghara berarti windu yang banyak mengalami banjir (air bah).
4.   Sancaya. Windu Sancaya berarti windu yang banyak memperlihatkan kegiatan pembangunan.
Candrasangkala dengan nama-nama bahasa Arab, lazim dipergunakan untuk menandai setiap pergantian masa.
Penataan windu dimulai setelah jaman Majapahit, bertepatan pada tahun candrasangkala 1338. Untuk mendapatkan atau memperhitungkan windu bertepatan dengan perhitungan tahun (warsa), seyogyanya haruslah angka-angka tahun kalau dibagi 32 akan mendapatkan hasil 41. Jika perjalanan windu lebih 16 tahun, dijadikanlah 2 windu.
Itulah sebabnya dimulainya tahun candrasangkala 1339, dihitung tahun Alip, dan windunya dimulai dengan windu Sengara (angka 3).
Konon para waliyullah yang bertugas sebagai paranpara Kerajaan Demak berkenan menciptakan pula hitungan dan penjelasan untuk hari-hari naas dan baik, serta watak manusia sesuai hari kelahiran masing-masing.

Demikian pula bagi setiap anak yang dilahirkan dihari-hari tersebut di bawah ini mempunyai watak-watak antara lain :
1. Akad.
Akad, berarti pura-pura. Artinya anak yang dilahirkan pada hari Akad mempunyai watak suka berpura-pura. Apa yang ada dalam hatinya tidak cocok dengan apa yang dilahirkannya atau dilaksanakannya.
2. Senen
Senen, berarti serba bagus dan apik. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Senen mempunyai watak gemar akan segala sesuatunya serba baik dan bagus.
3. Slasa, Selasa
Slasa atau Selasa, berarti curitaga atau penuh kekawatiran. Artinya anak yang dilahirkan pada hari Selasa mempunyai watak tidak gampang mempercayai omongan orang lain.
4. Rebo, Rabu.
Rebu atau Rabu, berarti mampu. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Rabu mempunyai watak mampu dalam segala hal. Dan menghendaki apa yang dikerjakannya harus selalu baik dan pantas.
5. Kemis, atau Kamis
Kemis atau Kamis, berarti penuh perhatian. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Kamis mempunyai watak penuh perhitungan dalam melakukan atau mempertanggungjawabkan pekerjaannya.
6. Jumuah atau Jum’at
Jumuah atau Jum’at, berarti suci. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Jum’at mempunyai watak dalam segala hal berharap sempurna dan tertib.
7. Sabtu
Sabtu, berarti pandai memuji orang. Artinya, anak yang dilahirkan pada hari Saptu mempunyai watak suka atau mempunyai kebiasaan memuji-muji orang lain dan suka membual.
Watak-watak dari kelima hari pasaran sebagai berikut di bawah ini :
1. Kliwon
Mereka yang dilahirkan pada hari pasaran Kliwon mempunyai sifat micara. Atinya, pandai berbahasa dan halus kata-katanya.
2. Legi
Mereka yang dilahirkan pada hari pasaran Legi, mempunyai sifat mengaku. Artinya, murah berjanji dan sanggup akan segala hal.
3. Paing
Mereka yang dilahirkan pada hari pasaran paing, mempunyai sifat melikan. Artinya, selalu ingin memiliki segala sesuatu yang terlihat.
4. Pon
Mereka yang dilahirkan pada hari pasaran Pon, mempunyai sifat pamer. Artinya, senang menonjol-nonjolkan kekayaannya.
5. Wage
Mereka yang dilahirkan pada hari pasaran Wage, mempunyai sifat malu. Artinya, kaku hatinya.

Sifat dan watak masa Surya.
1. Kasa
Masa Kasa mempunyai watak belas kasihan.
Lambang dari masa Kasa adalah, “Sotya murca ing embanan” (Permata lepas dari ikatannya). Masa Kasa datang bertepatan dengan daun-daun pepohonan banyak yang berguguran.
2. Karo
Masa Karo mempunyai watak ceroboh.
Lambang dari masa Karo adalah, “Bantala rengka” (Tanah lekang). Masa Karo datang bertepatan dengan tanah-tanah banyak yang lekang.
3. Katiga
Masa Katiga mempunyai watak kikir atau lokek. Lambang dari masa Katiga adalah “Suta manut ing bapa” (Anak menurut atau patuh pada orang tuanya). Masa Katiga datang bertepatan dengan tumbuhnya lung.
4. Kapat
Masa Kapat mempunyai watak suka berhias diri atau selalu ingin tampak bersih dan apik.
Lambang dari masa Kapat adalah, “Waspa Kumambang jroning kalbu” (Air mata menggenang dalam hati). Masa Kapat datang bertepatan dengan keadaan udara yang lembab, dan panas.
5. Kalima
Masa Kalima mempunyai watak gelatak (juweh). Lambang dari masa Kalima adalah, “Pencuran mas sumawur ing jagad” (Pancuran emas, merata di bumi). Masa Kalima datang bertepatan dengan awal jatuhnya hujan.
6. Kanem
Masa Kanem mempunyai watak cerdas, pandai, Lambang dari masa Kanem adalah , “Rasa mulya kasucian” (Rasa mulia dan berhati suci). Masa Kanem datang bertepatan musim buah-buahan.
7. Kapitu
Masa Kapitu mempunyai watak ringan tangan (suka menempeleng). Lambang dari masa Kapitu adalah, “Wisata kentir ing maruta” (Racun tertiup angin). Masa Kapitu datang bertepatan banyaknya penyakit.
8. Kawolu
Masa Kawolu rnempunyai watak madya (tidak berlebih-lebihan,sederhana).
Lembang dari masa Kawolu adalah, “Anjrah jroning kayum” (Berkembang di lubuk hati). Masa Kawolu datang bertepanan dengan masa berkembang biaknya hewan.
9. Kasanga
Masa Kasanga mempunyai watak berabah (ramai). Lembang dari masa Kasanga adalah, “Wakaring wacana mulao” Berucapkan kata-kata yang bijaksana. Masa Kasanga datang benepatan dengan musim riang-riang (gangsir) mulai mendesing-desing.
10. Kasadasa
Masa Kasadasa mempunyai watak mudah tersinggung. Lambang dari masa Kesadasa adalah, “Gedlong minep jroning kalbu” (Tampak sebuah gedong tertutup). Masa Kasadasa datang bertepatan dengan waktu hewan-hewan sedang mengandung.
11. Dasta
Masa Dasta mempunyai watak suka mengambil barang yang bukan miliknya.
Lambang dari masa Dasta adalah “Sotya sinarawadi” (Mempersekutukan kekayaan). Masa Dasta datang bertepatan dengan menetasnya telur-telur yang dierami burung-burung.
12. Sadda
Masa Sadda mempunyai watak bersahaja. Lambang dari masa Sadda adalah, “Tirta sah sing sasana”. (Air telah mengalir dari sumbernya. Masa Sadda datang bertepatan dengan musim dingin (padiding).

Watak-watak hari Padewan yang dipergunakan sebagai rangkapan Pandangon untuk wuku.
1. Sri
Watak Dewi Sri adalah besar rasa belas kasihannya. Pada hari padewan Sri, Sebaiknya dipergunakan untuk memulai menanam padi dan kelapa.
2. Endra
Watak Dewa Endra adalah sombong, angkuh, teliti dan berhati-hati.
Pada hari padewan Endra seyogyanya dipergunakan untuk menuntut ilmu.
3. Guru
Watak Dewa Guru senang memberikan anugerah dan mencoba diri seseorang.
Pada hari padewan Guru sebaiknya menjalankan sarana sesaji dengan memasang tumbal-tumbal (penolak bala).
4. Yama
Watak Dewa Yama adalah pemaaf dan bijaksana.
Pada hari padewa Yama sebaiknya dipergunakan untuk berdagang melalui lautan (berlayar).
5. Rudra
Watak Dewa Rudra adalah bijaksana dan pemurah hati. Pada hari padewan Rudra sebaiknya dipergunakan untuk membuat sumur.
6. Brama
Watak Dewa Brama adalah pemarah, tetapi segala perintahnya mengandung kebijaksanaan.
Pada hari padewan Brama sebaiknya dipergunakan untuk membuka hutan, dan mengerjakan sawah (menggaru sawah dan membajak).
7. Kala
Watak Dewa Kala adalah tidak bisa dipercaya dan suka berbohong. Pada hari padewan Kala sebaiknya dipergunakan untuk membuat larangan dan undang-undang (pepacak).
8. Uma
Watak Dewi Uma adalah suka menolong orang yang kesusahan. Pada hari padewan Uma adalah baik sekali dipergunakan untuk membuat pagar rumah dan pekarangan (halaman).

Makna dari hari pengapesan dan paringkelan.
1. Tungle
Tungle mempunyai makna naas bagi daun-daunan. Mempunyai watak gampang berjanji, tetapi suka berdusta. Pakangsal mendengarkan, dan larangannya jangan menanam dan mencari (memetik) dedaunan.
2. Aryang
Aryang mempunyai makna naas bagi manusia. Mempunyai watak suka lupa, pakangsal berbuat dusta dan menipu. Larangannya jangan mendirikan rumah dan nikah.
3. Warungkung
Warungkung mempunyai makna naas bagi hewan-hewan. Mempunyai watak tidak atau kurang waspada yang akhirnya membawa bencana. Pakangsal, ajag (anjing hutan) berkeliling, dan larangannya jangan membuka hutan.
4. Paningron
Paningron mempunyai makna naas bagi segala jenis ikan di air. Mempunyai watak gampang tertipu, tetapi berwatak suka memiliki yang bukan haknya (melikan). Pakangsal, berbuat atau suka mencelakakan orang lain. Larangannya memelihara ikan.
5. Owas
Owas mempunyai makna naas bagi segala jenis burung. Mempunyai watak sombong dan tinggi hati. Pakangsalnya adalah memikat, Larangannya membuat kurungan.
6. Mawulu
Mawulu mempunyai makna naas bagi semua benih. Mempunyai watak mempunyai syak wasangka dan suka memperkira-kirakan. Pakangsal mengolah sawah, dan yang menjadi larangannya menebar benih.

Konon para wali sejak jaman Demak banyak menciptakan hari-hari yang dilengkapi watak-wataknya, demikian selanjutnya pada jaman Mataram sampai sekarang masih pula dilestarikan penggunaannya. Untuk melihat atau membaca hari baik atau kurang baik, dikenal istilah sawanggita (Budda). Pada jaman kewalian timbullah istilah pasangatan sebagai pengganti sawanggita tadi. Selanjutnya disusul adanya perhitungan perihal apa yang digolongkan karam, pancasuda, sangaran, nahas (naas), bangas, dan lain sebagainya.
Juga perhitungan-perhitungan secara teliti untuk tahun-tahun candrasangkala dalam setiap tahunnya tak lupa diciptakan. Termasuk antara lain: bincilan, panagan, parijalan, jatingarang dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini hanya dibatasi sekedar uraian yang menerangkan hal-hal tersebut di atas tadi. Sebaliknya bagi yang ingin mendalaminya kami persilakan untuk membaca buku-buku perimbon, petangan (perhitungan) dan pasatowan yang di dalamnya dengan lengkap akan dijelaskan perihal petangan dan cara-cara penggunaannya. Demikian pula perhitungan mengenai papan (rumah, tanah, pindah, dan lain sebagainya) dan mencari jodoh atau melaksanakan perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar